60 Persen Opini Publik Terhadap Petahana Negatif
BIMA-Tim Analisa dan Strategi Syafru-Ady, kembali mengeluarkan angka-angka hasil pemetaan dukungan. Sekitar 60 persen opini publik terhadap petahana saat ini negatif, sehingga sulit untuk menang pada Pilkada 2020 mendatang.
Hal itu disampaikan Darusalam. Kata dia, untuk mengetahui hasil Pilkada bisa dilihat dengan sangat sederhana. Hasilnya nanti, sangat bergantung pada penilaian publik terhadap kepemimpinan sekarang.
Jika publik mengatakannya berhasil, maka petahana tentu tidak bisa dikalahkan. Sebaliknya, jika penilaian publik negatif, petahana sulit untuk menang.
“Ini lumrah dalam setiap Pilkada. Alat evaluasi bagi publik adalah soal kepemimpinan, ” kata pria yang akrab disapa Darus ini.
Untuk mengukur persepsi tersebut kata dia, secara obyektif tentu melalui pendekatan penelitian atau survei. Berdasarkan survei di internal Syafru-Ady, opini publik terhadap petahana negatif.
“Sekitar 60 persen warga menyatakan kepemimpinan sekarang negatif, ” ungkapnya.
Yang sangat menarik adalah argumentasi dari penilaian publik. Kenapa kepemimpinan sekarang negatif?.
Ada tiga poin kata dia. Pertama, soal kesejahteraan warga yang semakin memburuk. Hal tersebut kata Darus, linear dengan capaian Indeks Pembangunan Manusia kita di wilayah Kabupaten Bima yang terburuk se NTB. Demikian juga dengan pendapatan perkapita masyarakat Kabupaten Bima, juga terendah di NTB.
Kedua, sulitnya lapangan pekerjaan. Ini menjadi faktor yang dominan menjadi penilaian publik, terhadap kinerja kepemimpinan di Kabupaten Bima sekarang. Ketiga, soal banyak janji pemimpin yang dianggap tidak ditepati.
“Tiga poin tersebut merupakan faktor yang menyebabkan warga kecewa. Kekecewaan tersebut melahirkan sikap perlawanan yang dijawantahkan melalui satu sikap politik, Ganti Bupati, ” tegas Darus.
Darus juga membandingkan dengan kondisi politik pada pemilihan Wali Kota Bima sebelumnya. Ketika Pilkada Kota Bima dua tahun lalu, dimenangkan oleh penantang. Bahkan angka petahana stagnan saat itu.
Ketika survei dilakukan satu tahun sebelum pilkada, elektabilitas petahana 36 persen. Tapi hasil Pilkada, petahana meraih angka 38 persen.
Demikian dengan petahana pada Pilkada Kabupaten Bima saat ini. Saat survei awal tahun lalu, elektabilitas petahana 40 persen. Sama seperti perolehan suara petahana pada pilkada 2015 lalu. Artinya elektabilitas petahana jalan di tempat.
Apakah elektabilitas petahana akan bisa digenjot ? Menurut Darus, hanya bergerak pada ambang batas, diangka 40 persen hingga 43 persen.
“Karena itu adalah hasil dari apa yang dilakukan oleh petahana selama lima tahun kepemimpinannya, ” kata dia.
Di sisi lain kata Darus, secara otomatis publik yang menginginkan ganti bupati justru semakin menyolidkan diri untuk memenangkan sang penantang. Demi mewujudkan visi besar, yaitu pergantian kepemimpinan daerah Kabupaten Bima.
Bahkan sekarang, pemilih semakin cerdas, terlebih di era yang sangat terbuka dan kompetitif sekarang ini. Publik dengan mudah mengakses informasi dan mengetahui apa saja perkembangan yang terjadi.
Misalnya, publik dapat membaca secara terang benderang siapa Paslon yang lebih berpeluang menang diantara dua penantang petahana. Kondisi tersebut yang menyebabkan publik lebih mengkonsolidasikan pilihan mereka pada Paslon penantang. Karena dianggap berpeluang mengalahkan petahana.
Tidak heran kata Darus, setiap waktu di kubu Syafru-Ady terus dibanjiri dukungan dari berbagai kelompok sosial politik.
Jika sebelumnya para pendukung independen, baik pada Pilkada 2015 maupun bakal calon independen yang tidak lolos. Pada seleksi kemarin telah lebih awal menyatakan diri total berjuang untuk ganti bupati bersama Syafru-Ady.
Belakangan begitu banyak lagi para pendukung maupun tim petahana tahun 2015 bergabung ke kubu Syafru-Ady.
Arus dukungan warga yang sebelumnya hendak mendukung Paslon lain. Karena melihat fakta, Syafru-Ady berpotensi mengalahkan petahana, merekapun bergabung, berjuang bersama Syafru-Ady mewujudkan agenda besar, yaitu Ganti Bupati. (tin)