"Membangun Kemandirian Kader: Strategi Enterpreneur bagi Aktivis”
Oleh: Marweli Yusuf |
Oleh: Marweli Yusuf |
Oleh: Juhanah Zara
Bima merupakan daerah dengan mayoritas penduduknya berprofesi sebagai petani, dengan dua komoditas andalannya berupa bawang merah dan jagung. Untuk bawang merah, bisa ditanam dan dipanen sebanyak dua sampai tiga kali per tahun. Sedangkan untuk jagung hanya satu kali tanam, yakni biasanya di musim penghujan. Mayoritas masyarakat di banyak kecamatan menyambung hidup melalui dua komoditas tersebut, guna memenuhi kebutuhan pangan, sandang serta papan. Namun bulan-bulan ini, petani bawang dan jagung dihadapkan pada tantangan berupa anjloknya harga harga jual.
Harga Bawang Merah dan Jagung Merosot
Dilansir dari detikbali.com (29/04/2024), sebagian petani bawang merah di wilayah Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB) sudah panen. Namun mereka mengeluhkan harga jual yang terus turun di tengah meroketnya harga bawang merah di pasar. Padahal harga bawang merah secara nasional naik gila-gilaan dalam beberapa waktu belakangan ini. Harganya menembus angka 80 ribu rupiah per kilogram (kg) atau 8 juta rupiah per 100 kg. Ginanjar, petani bawang merah di Desa Pai, Kecamatan Wera, Kabupaten Bima mengatakan, meroketnya harga bawang merah di pasar saat ini tak memberikan keuntungan baginya. Sebab bawang merah hasil panen saat ini dibanderol dengan harga rata-rata 3,3 juta rupiah per 100 kg. Pun harga bawang merah di NTB yang belakangan melonjak naik, kini sudah berangsur turun.
Di sisi lain, Presiden Joko Widodo ikut angkat bicara mengenai komoditas jagung. Ia mengatakan saat ini yang perlu dilakukan adalah menjaga keseimbangan harga, baik yang ada di tingkat petani maupun peternak. Keduanya tetap harus mempertahankan produksi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia. "Ya, ini memang baru panen besar. Semua daerah panen sehingga yang terjadi adalah harga turun karena over supply. Harga yang sebelumnya 7.000, sekarang turun menjadi 4.200. Artinya baik untuk peternak, tapi kurang baik untuk petani," tuturnya di area jagung Kelompok Tani Kedawan, Brang Biji, Kabupaten Sumbawa, NTB (tempo.com, 03/05/2024).
Ibarat dipermainkan, harga kedua komoditas tersebut terus naik dan turun. Masyarakat seringkali melayangkan protes akibat ketidakjelasan harga tersebut, namun tidak membuahkan hasil yang sepadan. Negara juga terlambat bertindak untuk mengatasi persoalan rakyat kecil, sehingga masalah terlanjur berlarut-larut dan muncul kericuhan. Meski akhirnya ada pematokan harga jagung dari pemerintah pusat, namun nyatanya tetap saja tidak bisa mencukupi kebutuhan para petani.
Hilangnya Fungsi Negara
Anjloknya harga hasil panen petani bukanlah berita baru, melainkan telah terjadi bertahun-tahun lamanya. Keuntungan yang tak seberapa, tidak sesuai dengan pengeluaran serta kerja keras selama proses tanam hingga panen. Belum lagi untuk membayar tenaga buruh yang digunakan. Hal ini jelas merugikan petani.
Jikalau keuntungan saja tidak mampu diraih, apatah lagi membahas bagaimana mereka dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari? Sedangkan masyarakat di Bima rata-rata menjadikan profesi petani sebagai satu-satunya jalan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ditambah dengan harga barang dan kebutuhan lain yang serba mahal semakin mencekik kehidupan mereka, maka terbayang betapa beratnya kehidupan mereka.
Naik turunnya harga pada hasil pertanian bukan tanpa sebab. Melainkan karena ketiadaan perhatian dari negara secara langsung. Negara yang menerapkan sistem sekuler menjadi penyebab utama akan problem yang berulang-ulang. Labilnya harga barang, bahan pangan, dan sejenisnya sudah menjadi _habit_ sepanjang tahun. Masyarakat dipaksa terbiasa untuk pasrah dengan keadaan walau begitu terasa sulitnya.
Sistem sekuler ini menjadikan negara menyerahkan tanggung jawabnya terhadap masyarakat. Ketiadaan campur tangan negara menjadikan masyarakat tidak terarah dalam mengelola alam di sekitarnya. Lihat saja bagaimana mereka menyalahgunakan lahan untuk bercocok tanam, semata-mata untuk meraih penghasilan dan menyambung hidup.
Seperti _euforia_ penanaman komoditi jagung di Dompu yang semakin merambah ke Kota Bima dan Kabupaten Bima. Selain lahan pertanian, kawasan hutan lindung pun berubah fungsi jadi area perladangan (Suara NTB, 27/12/2017). Sekarang kawasan hutan di pegunungan sisi barat Bendungan Pelaparado, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, tampak gundul dan beralih fungsi menjadi lahan jagung. Belum lagi dengan daerah terpencil, banyak yang menjadikan gunung sebagai ladang jagung.
Selain itu, hilangnya peran negara dalam proses distribusi komoditas pertanian akhirnya memunculkan pengusaha atau pihak swasta sebagai pengendali dalam sistem perekonomian termasuk penetapan harga. Ditambah kenyataan bahwa negara gencar melakukan impor komoditas, sehingga mekanisme pasar akhirnya rusak dan kemudian mereka mengambil jalan mematok harga.
Seperti inilah cara kerja sistem kapitalisme yang menjadikan penguasa sesungguhnya adalah swasta dan pemilik modal. Tidak peduli dengan pematokan harga membuat petani merasa keberatan atau tidak, karena keuntungan bagi kalangan mereka adalah faktor utama dalam negara sekuler ini. Materi menjadi kepentingan paling utama daripada kesakitan yang dirasakan oleh rakyat.
Solusi Ala Islam
Solusi terbaik untuk umat (rakyat) hanya bisa diraih dengan menerapkan syariat Islam secara kaffah di muka bumi. Sebab kedaulatan berasal dari Allah SWT dan Rasulullah Saw. melalui Al-Qur'an dan As-Sunnah. Dengan menjalankan syariatNya semua masalah akan terselesaikan. Sebab Islam lengkap mengatur sedemikian rupa, dari bangun tidur hingga bangun negara, baik persoalan kecil hingga persoalan besar. Begitupun dengan permasalahan umat saat ini hanya bisa diselesaikan oleh Islam dalam bentuk negara.
Dalam Islam yang akan bertanggung jawab pada umat serta mengontrol umat adalah negara. Sehingga permasalahan umat diselesaikan oleh negara, termasuk urusan pertanian. Tidak diambil alih oleh pihak pemilik modal, korporatokrasi, kartel dan lain sebagainya dalam hal mengatur naik turunnya harga. Untuk itu, butuh negara yang turun tangan langsung memberikan dukungan serta memfasilitasi produksi dan apapun yang akan dibutuhkan oleh petani, termasuk memastikan pendistribusiannya. Dengan itu, impor bahan pangan tidak dilakukan oleh daulah Islam (khilafah) ketika masih ada stok atau daulah mampu mengelolanya sendiri.
Islam pun akan memastikan harga bahan pangan mengikuti mekanisme pasar alami tanpa manipulasi serta menuntaskan distorsi pasar seperti keberadaan mafia, penimbunan dan penyelundupan yang merugikan masyarakat. Hal ini membuat pasar tidak akan mudah untuk dikuasai oleh pihak tertentu.
Dengan begitu petani mendapatkan penghasilan sesuai hasil panen serta kerja kerasnya. Umat tidak lagi akan pusing memikirkan persoalan naik turunnya harga untuk berbagai komoditas. Petani atau individu tidak akan menyalahgunakan hutan dan gunung untuk menyambung hidup, karena khalifah atau pemimpin negara dalam sistem Islam akan memastikan tersedianya lapangan kerja bagi umat, khususnya laki-laki. Negara juga mengontrol penuh cara pengelolaan tanah oleh umat. Ketika itu milik umum, maka pemanfaatannya atau hasilnya akan dikembalikan kepada umat, tidak diprivatisasi oleh individu tertentu. Begitulah kesempurnaan Islam dalam mengatur urusan pertanian.
Namun semua itu belum dirasakan oleh umat saat ini. Kesejahteraan dan solusi itu belum terlaksana sebab umat masih terperangkap dalam sistem sekularisme yang kian hari kian mengakar. Akan tetapi tidak ada kata terlambat dalam perjuangan menerapkan Islam kaffah. Dengan penyampaian dakwah guna membentuk kesadaran di tengah umat, perlahan sistem Islam akan semakin menjadi impian dengan landasan keimanan bagi setiap muslim. Sehingga umat atau kaum muslimin sendirilah yang akan menuntut sistem sekularisme diganti dengan sistem Islam dalam naungan khilafah. Karena hanya khilafah yang mampu menerapkan syariat Islam secara kaffah. (*)
Ilustrasi |
Oleh : Atina, SH (Pegiat Media)
Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan pesta demokrasi bagi rakyat Indonesia. Perhelatan 5 tahun sekali ini, memberikan kesempatan kepada rakyat untuk memilih langsung pemimpin negara Indonesia, kepala daerah dan perwakilan di lembaga legislatif.
Dalam sejarah kepemiluan Indonesia, tahun 2004 menorehkan sejarah baru yakni diterapkannya pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat.
Pada periode sebelumnya, Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) melalui sidang umum.
Pemilihan langsung yang ditetapkan pasca Reformasi tersebut diputuskan, untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam pemerintahan negara.
Hal ini sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945, yang mana menyebutkan Pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan secara langsung oleh rakyat.
Dalam perjalanannya, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden RI secara langsung ini menimbulkan dinamika politik yang baru di Indonesia.
Politisi mulai mengubah pergerakan mesin-mesin politiknya, satu di antaranya cara berkampanye.
Karena rakyat memiliki kedaulatan utuh untuk menentukan Presiden dan Wakil Presiden pilihannya sendiri, maka politisi baik itu Parpol dan pendukungnya, berupaya mengenalkan Identitas sosok yang dicalonkan.
Ironisnya, upaya mengenalkan identitas calon presiden yang disodorkan kepada rakyat ini kerap menyentuh hal-hal sensitif.
Seperti identitas agama, suku dan ras calon yang disodorkan untuk menjadi pemimpin Indonesia.
Sedangkan identitas berupa latar belakang pendidikan, intelektual, kapasitas, kapabilitas, hingga program unggulan yang ditawarkan bagi rakyat, justeru menjadi nomor kesekian untuk disodorkan ke rakyat.
Hasilnya, seperti yang dikenal saat ini munculnya Politik Identitas yang mengedepankan perbedaan Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA).
Seperti menurut para ahli, Politik identitas didefinisikan sebagai politik yang dasar utama kajiannya dilakukan untuk merangkul kesamaan relasi etnis, agama, hingga kelamin. Demikian Abdillah (2002).
Pada konteks yang lebih detail, Cressida Heyes dalam bukunya Stanford Encyclopedia of Philosophy (2007), politik Identitas diartikan sebagai jenis aktivitas politik yang dikaji secara teoritik berdasarkan kesamaan pengalaman dan ketidakadilan yang dirasakan golongan tertentu.
Era digital saat ini, membuat rakyat dengan cepat mengakses informasi apapun dan di mana pun, dengan sangat mudah.
Keberadaan telepon pintar atau handphone, semakin mempercepat penyebaran dan penyerapan informasi.
Bak dua sisi mata pisau, digitalisasi informasi ini menimbulkan dampak positif dan negatif.
Arus informasi saat ini tidak hanya disajikan media mainstream, tapi juga media sosial yang sekatnya sangat tipis jika dibandingkan dengan media mainstream, baik itu cetak atau online.
Pada masa kini, Media Sosial tidak hanya digunakan untuk wadah bersosialisasi dan eksistensi, tapi juga pendistribusian Informasi.
Hasilnya, propaganda politik Identitas banyak bermunculan di media sosial karena untuk memilih media mainstream, itu tidak dimungkinkan.
Derasnya arus informasi propaganda di media sosial ini, tidak sebanding dengan kecerdasan dan kebijakan masyarakat Indonesia, menyaring informasi tersebut.
Tidak sedikit, propaganda politik identitas sangat mudah kita temui di media sosial, dengan tampilan yang menarik.
Sejak Pemilu 2019 lalu, istilah Cebong dan Kampret begitu mudah kita baca dan lihat di media sosial.
Bahkan 2 istilah tersebut menjadi kata-kata yang digunakan, untuk mengkotak-kotakan pendukung 2 calon presiden.
Tidak hanya di kota-kota besar, tapi masif hingga ke daerah-daerah.
Pada Pemilu 2024 ini, kita tidak menemukan lagi istilah Cebong dan Kampret tapi istilah baru, seperti Kadrun dan Buzzer.
Ini bukan hanya sekedar istilah, tapi mengandung banyak perbedaan yang terus dikerucutkan di dalamnya.
Bukan hanya soal perbedaan sosok yang dipilih sebagai presiden, tapi ada perbedaan agama, suku dan ras yang dikandung dalam istilah-istilah tersebut.
Tanpa kita sadari, istilah Cebong, Kampret, Kadrun hingga Buzzer telah menjadi ancaman yang tidak terlihat bagi Indonesia.
Ancaman yang sangat ditakutkan oleh para pejuang kemerdekaan Indonesia dulu, yakni ancaman Persatuan dan Kesatuan Indonesia.
Sejatinya Pemilu sebagai media pembelajaran bagi rakyat Indonesia, untuk memahami secara dewasa sebuah perbedaan pandangan dan pilihan politik.
Lalu bagaimana posisi Badan Pengawas Pemilu di pusaran Politik Identitas?
Layaknya sebuah pertandingan sepakbola, Pemilu sebuah perhelatan pemilihan yang digelar secara sportif.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), bisa disebut sebagai wasit bagi seluruh pihak yang terlibat dalam Pemilu.
Pada Undang Undang Pemilihan Umum, irisan politik identitas diatur dalam penggunaan politik SARA diatur dalam Pasal 69 huruf b. Dalam pasal tersebut menyebutkan dalam masa kampanye dilarang menghina seseorang, Agama, Suku, Ras, Golongan. Baik itu terhadap Calon Gubernur, Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati, Calon Wakil Bupati, Calon Wali Kota, Calon Wakil Wali Kota, dan/atau Partai Politik.
Tapi menurut para ahli, di luar masa kampanye, Bawaslu tidak dapat menindaknya, sebab Bawaslu bekerja sesuai undang-undang. Tapi dalam konteks pencegahan pada prinsipnya Bawaslu tidak perlu terlalu terpaku pada regulasi dengan menempuh upaya upaya preventif.
Semakin maraknya penggunaan politik identitas saat ini, sudah waktunya Bawaslu bergerak secara masif untuk mencegah dan menerapkan strategi treatment awal.
Pendekatan secara langsung ke masyarakat, menjadi langkah paling baik untuk dilakukan.
Tentu saja, dengan melibatkan banyak unsur di masyarakat seperti tokoh masyarakat, tokoh agama, hingga tokoh pemuda dan perempuan.
Dengan memberikan pendidikan politik yang baik, maka masyarakat bisa menyaring sendiri informasi yang diperoleh.
Sehingga mampu membedakan, apakah informasi tersebut layak dikonsumsi atau tidak.
Namun yang tak kalah penting lagi adalah, Bawaslu juga harus memberikan penegasan kepada Peserta Pemilu, untuk tidak menggunakan politik identitas.
Jika Peserta Pemilu dalam hal ini Partai Politik bersepakat dan berkomitmen, maka akan diteruskan kepada pendukung-pendukungnya.
Perlahan namun pasti, polarisasi politik identitas akan bisa hilang dalam warna Pemilu Indonesia.
Digantikan oleh program-program cerdas dan solutif, yang ditawarkan oleh politisi-politisi di Indonesia.
Sehingga tujuan Pemilu untuk menghasilkan pemimpin yang berkualitas, benar-benar bisa terwujud.
Tentu saja yang lebih utama adalah, persatuan dan kesatuan Indonesia yang dibayar mahal dengan darah para Pahlawan tidak terancam.
Hal yang penting dicatat sebagai referensi, generasi muda yang masuk dalam kelompok Gen Z dan milenial adalah kelompok rentan yang terpapar negatifnya efek media sosial. Tapi sebaliknya, mereka justeru kelompok paling berpeluang dan efektif dilibatkan dalam kampanye anti politik identitas.
Mereka adalah kelompok yang tercatat dalam statistika 53,81 persen sebagai subjek aktif yang menentukan arah demokrasi Indonesia dengan hak pilihnya.
Kegemaran
mereka pada media sosial, juga dapat dikapitalisasi sebagai agen kampanye untuk
membentuk kesadaran politik masyarakat, bahwa identitas itu bukan lagi senjata
efektif karena memicu perpecahan sesama bangsa sendiri. (*)
Oleh: Muamar Afdal, Tim PBH LPW NTB |
Meninggalnya Muardin menjadi tragedi pahit bagi keluarga, anak dan cucunya. Menjadi sejarah kelam bagi pesta demokrasi yang berlangsung di Kecamatan Ambalawi, Kabupaten Bima. Musibah yang sama tidak tertutup kemungkinan akan kembali terjadi pada masa yang akan datang.
Pilkades serentak, ricuh, menjadikan
Muardin sebagai tumbal. Kondisi ini menjadi preseden buruk bagi Pilkades
serentak di Kabupaten Bima. Siapa yang bisa memberikan jaminan, pesta demokrasi
yang akan berlangsung di Kabupaten Bima ke depan akan baik-baik saja.
Kendati aparat penegak hukum mengaku, mengerahkan kekuatan TNI dan Polri untuk menjaga keamanan selama pelaksanaan pesta demokrasi. Supaya berjalan lancar, aman dan terkendali. Karena peristiwa yang menimpa Muardin, justru terjadi disaat aparat keamanan melakukan tugasnya mengamankan pesta dmokrasi.
Kisah Tragis Demokrasi
Demokrasi adalah sistem yang di anut
oleh bangsa Indonesia yang bertujuan mewujudkan kesejahteraan, kemakmuran,
keadilan, serta kesamaan hak. Menghargai pendapat, keberagaman, kepercayaan,
pilihan, cita-cita, serta mengedepankan Hak Asasi Manusia (HAM) sebagaimana
yang termuat dalam "Pasal HAM UUD 1945".
Di lansir dari "Kumparan.com (2/3/19)", sebagai pembanding, ada kisaran ratusan bahkan ribuan penyelenggara dan pengawas pemilu bernasib seperti Rudi dan Niman. Berdasarkan data KPU per Rabu (1/5) malam, total 380 meninggal dunia, 3.192 dalam keadaan sakit. Jumlah itu belum termasuk korban dari jajaran pengawas pemilu.
Infografis Korban Nyawa di Pemilu Raya
Bawaslu mencatat 79 orang pengawas
meninggal. Sementara, korban dari pihak kepolisian mencapai 22 orang yang
wafat. Dengan penyebab kematian para korban beragam. Tetapi, sebagian besar
dari mereka mengalami serangan jantung. Rentetan panjang proses pemilu diduga
menjadi menjadi pemicunya.
Hingga pada 6 Juli 2022, Pilkades
serentak (Kabupaten Bima) menelan korban nyawa. Beberapa korban luka-luka
akibat tembakan gas air mata dan satu korban meninggal dunia (Muardin). Di duga
kematian Muardin akibat terkena benda tumpul (hasil autopsi jenazah dan
keterangan saksi-saksi), dugaan kuat mengarah akibat terkena tabung peluru gas
air mata.
Walaupun kematiannya berbeda-beda penyebab (antara kelelahan dengan konflik), namun tragedi pemilu 2019 hingga Pilkades serentak Kabupaten Bima 2022, terekam peristiwa yang sama, ada korban meningga dunia. Ini menyimpulkan bahwa demokrasi dari tahun ke tahun tidak aman, selalu saja ada tumbal.
Hukum dan Sistem Penegakan
Hukum materil akan tegak apabila hukum
formil berlaku tegak. Jadi perangkat hukum formil menjadikan hukum ini sebagai
pejantan sesungguhnya yang bisa memberikan rasa aman, nyaman, damai serta
ketertiban.
Hukum dalam sistem penegakan menyerukan
kesamaan bagi setiap manusia asas (aquall). Ini jelas diuraikan dalam asas
hukum pidana tentang kesamaan di depan hukum. Namun tidak secara tegak lurus
diberlakukan, atas kepentingan-kepentingan tertentu, kemurnian hukum tergeser
oleh sistem penegakan yang tidak taat hukum.
Prof. Dr. Soerjono Soekanto
berpendapat bahwa penegakan hukum terjadi apabila ada ketidakserasian antara
nilai, kaidah, dan pola perilaku (Tritunggal).
Namun penegakan hukum akan tidak
maksimal bila dipengaruhi oleh faktor hukum (kebijakan), penegak hukum (tidak
profesional) sarana atau fasilitas (tidak memadai), kondisi masyarakat (hilang
kepercayaan) dan pengaruh kebudayaan (bertolak belakang).
Selain dari faktor-faktor tersebut
timbul faktor-faktor yang menyayat moral hukum. Seperti halnya kasus
"Sambo dan Teddy Minahasa". Yakni, tindakan inkonsistensi serta
an-profesional Kepolisian Negara Republik Indonesia. Ini yang memicu lunturnya
kepercayaan publik pada tubuh institusi Kepolisian RI, sehingga tuntutan
Reformasi Birokrasi sedang gencar dilakukan.
"Setiap masyarakat dianggap tahu
hukum", asas yang menjadi dasar untuk menutup sebuah alasan dari perbuatan
yang melawan hukum. Sekalipun produk hukum tersebut baru saja disahkan dan diundangkan
serta diumumkan dalam berita Negara.
Di sini peran Lembaga-lembaga penegak
hukum atau lembaga terkait dalam melakukan "advokasi" agar hukum dan
peraturan perundang-undangan dapat benar-benar disosialisasikan dan dipatuhi
oleh semua komponen. Seperti halnya membangun tekad (komitmen) bersama dari
para penegak hukum yang konsisten.
Komitmen ini diharapkan dapat lahir terutama yang dimulai dan diprakarsai oleh "Catur Wangsa" atau 4 unsur Penegak Hukum, yaitu : Hakim, Advokat, Jaksa dan Polisi. Yang berwenang melakukan penegakan hukum.
Misteri Kematian Muardin
Hingga kini belum ada titik terang
tentang siapa yang berbuat di balik meninggalnya Muardin. Berdasarkan uraian
kuasa hukum Muardin (PBH LPW) yang diwakilkan Adhar, S.H,M.H mengaku, belum ada
benang merah atas kasus yang menimpa kliennya.
Beberapa catatan dari hasil
investigasi tim mereka menyatakan, ada indikasi pengaburan fakta-fakta hukum. Intimidasi
saksi-saksi, dan mengesankan seolah-olah kasus ini tidak bisa diungkap.
Tidak heran, hingga hari ini penyidik
Polres Bima Kota belum menetapkan siapa tersangka atas meninggalnya korban
Muardin. Alasannya belum ada alat bukti.
Miris, apakah kematian Muardin dianggap
seperti hal matinya anak ayam? Apakah
tidak ada yang terluka, berduka, ataukah kematiannya Muardin menjadikan matinya
nurani Kopilisian Resor Bima Kabupten/Kota, Polda NTB serta Pemda Bima dan
Pemprov NTB?
Tugas pokok dan wewenang Polri diatur
melalui Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia tertuang pada Pasal 13, yakni: Memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat, Menegakkan hukum, dan Memberikan perlindungan, pengayom.
Kalau saja kasus yang menimpa Muardin
tidak secara terang diproses dan tidak pula menemukan kesimpulan, tentu akan
menjadi catatan buruk bagi institusi kepolisian.
Tidak hanya polisi sebagai penegak
hukum, pemerintah Kabupaten Bima dalam hal ini Bupati Bima juga harus bertanggungjawab
atas peristiwa tersebut. Sebagai bentuk pemerintahan yang baik, pengayom,
melindungi, serta sebagaimana falsafah "Bima Ramah".
Artinya percikan falsafah itu tidak
hanya hidup dalam genggaman kata, semboyan saja, tetapi hidup dalam napas
perjuangan, napas Pemda Bima.
Harusnya peristiwa ini tidak mesti
melibatkan pemuda/mahasiswa, LSM, serta kelompok-kelompok tertentu. Kalau
nurani instansi pemerintah, kepolisian itu kuat nan pemerhati.
Jangan salahkan masyarakat kalau
keberlakuan sistem hukum absolutisme dalam dataran masyarakat atas hilangnya
kepercayaan terhadap institusi Kepolisian dan pemerintah itu terjadi di
Kabupaten Bima. (*)
Oleh: Iin Suprihatin (Statistisi Ahli Muda, BPS Kota Bima) |
Oleh: Dr Dhimam Abror Djuraid, Wakil Ketua Dewan Pakar Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Pusat |
Arema kalah dari Persebaya 2-3, suporter marah, dan kerusuhan meledak menjadi huru-hara yang menewaskan sedikitnya 134 orang.
Ini merupakan jumlah korban kerusuhan sepak bola terbesar dalam sejarah sepak bola Indonesia. Bahkan, sangat mungkin jumlah ini merupakan yang terbesar dalam sejarah kerusuhan sepak bola di seluruh dunia. Jumlah korban di Malang masih sangat mungkin bertambah, karena sampai pagi ini masih tercatat 180 orang dirawat di rumah sakit.
Tragedi ini jauh lebih mengerikan dari tragedi Heysel di Brussel, Belgia pada 1985. Ketika itu berlangsung final Piala Champions antara Juvenetus melawan Liverpool, yang dimenangkan oleh Juventus dengan skor 1-0. Suporter Liverpool mengamuk dan membuat kerusuhan. Ratusan orang terluka akibat dinding stadion yang berjatuhan dan 39 meninggal dunia.
Otoritas sepak bola Eropa, UEFA, bertindak tegas dengan menjatuhkan sanksi keras berupa larangan bagi seluruh klub Inggris untuk mengikuti kompetisi apa pun di level Eropa. Bukan hanya Liverpool yang dikenai sanksi, tapi seluruh klub Inggris. Yang berbuat onar adalah suporter Liverpool, tapi yang menanggung sanksi adalah seluruh klub sepak bola Inggris.
Dengan sanksi tegas dan keras tanpa kompromi itu seluruh klub di Eropa berbenah dan menata hubungan dengan suporter. Organisasi suporter di seluruh Eropa berbenah dengan memperbaiki manajemen dan memberikan edukasi terhadap suporter-suporter yang menjadi anggota. Sanksi keras yang dijatuhkan oleh UEFA membawa efek jera yang kongkret.
Di Inggris suporter Hooligan yang terkenal fanatik dan beringas akhirnya bisa memperbaiki diri. Mereka kemudian berubah menjadi kelompok suporter yang punya fanatisme tinggi tapi tidak lagi beringas dan anarkis. Demikian halnya dengan kelompok suporter garis keras klub-klub Italia yang dikenal sebagai ‘’ultras’’. Mereka berbenah dan memperbaiki manajemen, sehingga berhasil menjadi kelompok suporter yang militan tapi tidak brutal.
Di Indonesia tragedi kematian suporter sangat sering terjadi, baik akibat perkelahian antar-suporter maupun karena kecelakaan di dalam atau di luar stadion. Tapi, sampai sejauh ini sanski yang dijatuhkan oleh PSSI, sebagai otoritas tertinggi sepak bola Indonesia, tidak memberikan efek jera yang bisa membawa reformasi total dalam pengelolaan suporter di Indonesia.
Sebelum kompetisi Liga 1 dimulai sudah terjadi korban tewas dalam pertandingan pra-musim Piala Presiden 2022, Juni lalu. Dalam laga di Geloran Bandung Lautan Api (GBLA), Bandung, antara Persib melawan Persebaya, 2 orang bobotoh, suporter Persib, meninggal dunia akibat terjatuh dan terinjak-injak oleh penonoton lain.
Dari laporan match summary terungkap bahwa kerusuhan terjadi karena penonton berdesak-desakan berebut memasuki stadion. Kapasitas GBLA yang 38 ribu full house hampir 100 persen. Data yang terungkap dari penjualan tiket menunjukkan bahwa jumlah penonton mencapai 37. 872 orang. Ini berarti 99,7 persen stadion dipenuhi suporter.
Hal ini merupakan pelanggaran karena aturan Piala Presiden menyebutkan bahwa kapasitas stadion maksimal hanya boleh diisi 75 persen. Dalam pernyataan resmi juga disebutkan bahwa panitia hanya mencetak 19.000 tiket setiap pertandingan. Dalam kenyataannya tiket yang beredar jumlahnya dua kali lipat. Semua penonton yang hadir dalam pertandingan itu diketahui memegang tiket resmi.
Pelanggaran prosedur penjualan tiket, dan antisipasi keamanan yang tidak maksimal, menyebabkan dua nyawa melayang. Harusnya ada evaluasi dan ada sanksi atas kejadian ini. Tetapi ternyata keputusan yang diambil hanya formalitas saja.
Alarm tanda bahaya juga sudah muncul di Stadion Gelora Delta, Sidoarjo dua minggu yang lalu. Ketika itu ratusan suporter Bonek mengamuk setelah Persebaya kalah 1-2 dari Rans Nusantara. Suporter Bonek mengamuk, turun ke lapangan, merusak fasilitas stadion, dan melakukan penjarahan. Akibat kerusuhan ini Persebaya harus mengganti kerusakan stadion sampai seratus juta lebih. Persebaya dijatuhi sanksi 5 kali bermain tanpa penonton dalam pertingan home.
Peristiwa di GBLA dan Gelora Delta menjadi alarm tanda bahaya akan munculnya tragedi yang lebih dahsyat. Dan tragedi itu pun akhirnya menjadi kenyataan di Stadion Kanjuruhan. Sampai sekarang masih belum diketahui penyebab jatuhnya korban yang begitu besar.
Bisa dipastikan bahwa korban meninggal bukan karena bentrok dengan suporter Bonek Persebaya, karena pihak keamanan sudah melarang suporter Bonek untuk datang ke Malang. Kemungkinan yang terjadi adalah suporter meninggal karena mengalami sesak nafas, karena dari video dan foto-foto yang beredar tidak terlihat korban tewas yang mengalami luka parah.
Dugaan sementara menyatakan korban tewas karena sesak nafas oleh gas air mata. Jika benar bahwa gas air mata dipakai untuk membubarkan kerusuhan di stadion maka hal ini merupakan pelanggaran terhadap aturan FIFA, federasi sepak bola internasional, yang tidak memperbolehkan gas air mata dipakai di stadion. PSSI menghadapi risiko sanksi dari FIFA jika terbukti melakukan pelanggaran.
Tragedi Kanjuruhan terjadi ketika publik sepak bola Indonesia masih menikmati sisa-sisa euforia karena penampilan timnas Indonesia yang mengesankan. Dua kemenangan dalam pertandingan FIFA Match Day melawan Curacao, pekan lalu, membuat publik sepak bola nasional terhibur.
Di level kompetisi internasional Indonesia sedang menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Polesan pelatih timnas Shin Tae-yong berhasil membawa timnas senior berhasil lolos ke Piala Asia 2023. Timnas junior U-20 juga lolos ke Piala Asia 2023 di Uzbekhistan. Timnas Indonesia U-20 juga lolos otomatis dalam Piala Dunia U-20 yang bakal digelar di Indonesia, Mei tahun depan.
Tragedi Oktober di Kanjuruhan dikhawatirkan akan membawa sanksi yang memengaruhi keikutsertaan Indonesia di ajang kompetisi internasional itu. PSSI harus segera melakukan antisipasi terhadap hal ini. Sanksi tegas harus dijatuhkan terhadap siapa pun yang bersalah, tanpa pandang bulu. Tim gabungan ‘’fact finding’’ dari PSSI, Polri, dan unsur lain harus dibentuk untuk mengungkap tragedi ini secara tuntas.
Selama ini, PSSI selalu gamang dalam
mengambil keputusan tegas, karena adanya konflik kepentingan di internal PSSI.
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa banyak petinggi PSSI yang mempunyai klub
yang berkompetisi di liga Indonesia. Kali ini PSSI tidak punya pilihan lain
kecuali bertindak tegas dan menyingkirkan berbagai konflik kepentingan.
Publik tahu bahwa seorang petinggi PSSI mempunyai saham pribadi di Arema Malang. Konflik kepentingan ini harus disisihkan. Kalau tidak, PSSI akan terancam disisihkan dari perhelatan sepak bola internasional. (*)
Oleh, Iin Suprihatin (Statistisi Ahli Muda, BPS Kota Bima) |
Ad Placement
Subscribe di situs ini untuk mendapatkan update berita terbaru