Kekeringan Berulang, Bagaimana Islam Mengatasinya? - Bima News

Kamis, 13 Juni 2024

Kekeringan Berulang, Bagaimana Islam Mengatasinya?

 

Heni

   Oleh : Heni Kusma


Musim hujan kebanjiran, musim kemarau kekeringan. Saat ini kita sudah memasuki musim kemarau. Sejumlah daerah yang ada di kabupaten Bima mengalami krisis air bersih alias kekeringan. 

Kepala Pelaksana (Kalak) Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bima, Isyrah menyampaikan, sejauh ini baru dua desa yang melaporkan kekurangan air bersih, yakni Desa Kalampa dan Desa Talabiu, Kecamatan Woha. Diakuinya pula bahwa dua desa tersebut  menjadi langganan kekeringan tiap tahunnya. Merespon hal tersebut, BPBD Kabupaten Bima telah menyalurkan air bersih kepada masyarakat setempat (teras.id, 3/06/2024). 

Tak hanya di kabupaten Bima, sejumlah wilayah di Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) juga mengalami krisis air bersih. Pemerintah KSB melalui BPBD telah mulai melakukan pendistribusian air bersih, lantaran sejumlah wilayah telah diklaim kesulitan ekstrem mendapatkan air bersih (sumbawabaratpost.com, 5/06/2024).

Dampak Kekeringan

Masalah kekeringan tentu tidak hanya dialami beberapa daerah, bisa jadi terus meluas. Sebagaimana dinyatakan oleh Kalak BPBD kabupaten Bima Isyrah, bahwa bencana kekeringan dan krisis air bersih di Kabupaten Bima diperkirakan akan meluas. Mengacu pada tahun sebelumnya, ada 38 desa dari 11 kecamatan yang terdampak.

Terlebih, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyatakan berdasarkan monitoring dan prediksi curah hujan dasarian, delapan daerah di NTB berpotensi untuk bersiaga mengalami kekeringan meteorologis. Dan Kabupaten Bima (Kecamatan Belo, Donggo, Lambitu, Palibelo, Wawo, Wera) serta KSB termasuk dari delapan daerah siaga kekeringan (antaranews.com, 12/06/2024). 

Dampak dari kekeringan tentu saja tidak hanya menyebabkan krisis air bersih, akan tetapi bisa mengantarkan pada gagal panen karena sawah tidak mendapatkan pengairan yang memadai. Padahal pangan adalah kebutuhan pokok yang harus dipenuhi. Bisa dibayangkan, jika gagal panen? Apa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat? Ditambah lagi, hampir semua kebutuhan harganya mengalami kenaikan. Beras naik, listrik naik, bensin naik, minyak naik dan lain-lain. 

Parahnya lagi, kekeringan yang terjadi dalam jangka panjang menyebabkan kemiskinan akut. Apalagi berdasarkan data yang dihimpun dari beberapa media, tingkat kemiskinan di NTB terus mengalami kenaikan. Kalaupun turun, itu hanya nol koma sekian persen. Bahkan NTB sendiri termasuk provinsi ke-8 dari 10 provinsi termiskin di Indonesia. Jika kemiskinan meningkat, itu berarti kriminalitas pun akan meningkat.

Akar Masalah

Mengingat berulangnya kekeringan tiap tahun, tentu memunculkan beragam pertanyaan. Kenapa bisa? Apakah pemerintah tidak melakukan upaya untuk mengatasi masalah kekeringan? Bukankah pemerintah bertanggung jawab untuk mengurus urusan rakyat? 

Diakui memang, pemerintah tidak tinggal diam. Sejumlah upaya telah dan sedang dilakukan. Diantaranya, mendistribusikan air bersih di daerah yang terdampak kekeringan, meskipun terbatas. Karena dalam satu keluarga terdapat banyak anggota keluarga. Penggunaan air tidak hanya untuk urusan masak memasak, akan tetapi mencuci, mandi, berwudhu dan lain-lain. Pemerintah pun sedang menyiapkan pipa untuk irigasi ke sawah pertanian dengan menggelontorkan dana yang tidak sedikit. Hal itu dilakukan untuk mengatasi gagal panen akibat kekeringan.  Sayangnya, upaya-upaya tersebut tidak bisa mengatasi kekeringan. Pasalnya, upaya tersebut hanya masalah cabang, sementara akar masalah penyebab kekeringan tak disentuh.

Hutan yang seharusnya menjadi tempat resapan air, justru gundul akibat dialihfungsikan menjadi lahan pertanian untuk menanam jagung. Menurut Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) NTB mencatat, laju kerusakan hutan di NTB mencapai 60 persen dari total kawasan hutan 1.071.722 juta hektare. Kerusakan hutan disebabkan karena aktivitas pertambangan, perambahan hutan dan alih fungsi lahan untuk kepentingan pembangunan pariwisata (lombokpost.jawapos.com, 6/12/2023).

Dengan demikian, wajar kekeringan terus berulang. Meskipun di tiap daerah yang terdampak kekeringan sudah ada bendungan-bendungan untuk menampung persediaan air, namun kebutuhan akan air tetap tidak terpenuhi. Padahal air adalah salah satu Sumber Daya Alam (SDA) yang dibutuhkan rakyat. Bahkan telah diatur dalam Undang-undang, namun keberadaan UU tersebut tidak menjamin rakyat bisa mendapatkan air.

Ditambah lagi adanya kapitalisasi air sehingga membuat masyarakat sulit mendapatkan air bersih dengan mudah. Seperti kita ketahui, banyak perusahaan-perusahaan air kemasan yang dimiliki oleh para pengusaha, kemudian air kemasan tersebut dijual demi mendapatkan keuntungan. 

Kondisi tersebut hanya dijumpai dalam negeri yang menerapkan aturan buatan manusia yakni sistem kapitalisme liberalisme. Sistem ini hanya menjadikan keuntungan sebagai tujuan utama. Makanya wajar, yang berkuasa adalah para pengusaha, apapun akan dilakukan demi mendapatkan uang. Meskipun dengan mengambil hak masyarakat setempat, termasuk masalah air bersih. 

Selain itu, sistem kapitalisme juga menjadikan negara lemah dalam melakukan mitigasi. Mereka hanya membuat kebijakan demi mendapatkan keuntungan, tanpa memperhatikan dampak yang ditimbulkan akibat kebijakan tersebut. Jika pun ada upaya untuk mengatasi kekeringan, hal itu hanya sesaat karena negara tidak mau rugi. Terlebih, negara hanya sebagai fasilitator, negara berlepas tangan dalam mengurus urusan rakyat justru menyerahkan kepada swasta. 

Solusi Islam Mengatasi Kekeringan

Islam adalah agama sekaligus pandangan hidup. Islam memandang air adalah kebutuhan pokok bagi manusia serta melarang menjadikannya sebagai milik pribadi apalagi diserahkan kepada swasta/asing. Sebab air adalah salah satu dari SDA. Rasulullah bersabda yang artinya: "Kaum muslim berserikat dalam tiga perkaya yaitu padang rumput, air dan api" (HR. Abu Dawud dan Ahmad). 

Hadis ini menunjukkan bahwa air adalah harta milik umum yang dikelola oleh negara, kemudian dikembalikan kepada seluruh rakyat, tidak boleh dijadikan milik pribadi atau lembaga tertentu. Dan ini hanya bisa diwujudkan oleh negara yang menerapkan aturan Islam secara keseluruhan. 

Negara mengelola secara langsung dalam proses produksi dan pendistribusian air bersih. Menyalurkan lewat perpipaan sehingga kebutuhan masyarakat akan air terpenuhi dengan baik. Termasuk yang dilakukan oleh negara adalah mengedukasi masyarakat untuk menjaga SDA (hutan) agar tidak digundulkan. Jika terdapat hutan yang gundul, maka akan dilakukan penghijauan kembali (reboisasi). Terhadap siapa pun yang melakukan kerusakan lingkungan, akan diberikan sanksi yang tegas oleh khalifah sebagai kepala negara. 

Khalifah pun akan menyiapkan dana yang besar serta memberdayakan para ahli terkait agar masyarakat bisa menikmati air bersih dengan mudah. Adapun kekeringan karena faktor klimatologi, maka negara akan menyebarkan informasi prakiraan iklim yang akurat sesuai dengan wilayah masing-masing. Termasuk membuat kalender tanam serta menerapkan dan memperhatikan peta rawan kekeringan yang dihasilkan yang disebarkan secara online melalui BMKG. 

Selain persoalan teknis, yang non teknis juga akan diupayakan. Khalifah akan memimpin umat Islam untuk memohon kepada Allah dengan melaksanakan sholat istisqo agar Allah menurunkan hujan untuk kemaslahatan manusia. Sebagaimana yang dilakukan oleh rasulullah ketika terjadi kekeringan di Madinah. Masyarakat mendatangi  Nabi yang saat itu juga sebagai kepala negara, makan rasul pun mengajak penduduk Madinah untuk melaksanakan sholat istisqa'. Kemudian hujan turun tak henti-hentinya, dan mereka kembali kepada Rasul untuk berdoa agar hujan berhenti. Maka hujan pun berhenti. Demikianlah Islam mengatasi masalah kekeringan. Ini tidak akan bisa diwujudkan selain sistem Islam. 
Wallahu ‘alam.

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda