Oleh: Juhanah Zara
Bima merupakan daerah dengan mayoritas penduduknya berprofesi sebagai petani, dengan dua komoditas andalannya berupa bawang merah dan jagung. Untuk bawang merah, bisa ditanam dan dipanen sebanyak dua sampai tiga kali per tahun. Sedangkan untuk jagung hanya satu kali tanam, yakni biasanya di musim penghujan. Mayoritas masyarakat di banyak kecamatan menyambung hidup melalui dua komoditas tersebut, guna memenuhi kebutuhan pangan, sandang serta papan. Namun bulan-bulan ini, petani bawang dan jagung dihadapkan pada tantangan berupa anjloknya harga harga jual.
Harga Bawang Merah dan Jagung Merosot
Dilansir dari detikbali.com (29/04/2024), sebagian petani bawang merah di wilayah Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB) sudah panen. Namun mereka mengeluhkan harga jual yang terus turun di tengah meroketnya harga bawang merah di pasar. Padahal harga bawang merah secara nasional naik gila-gilaan dalam beberapa waktu belakangan ini. Harganya menembus angka 80 ribu rupiah per kilogram (kg) atau 8 juta rupiah per 100 kg. Ginanjar, petani bawang merah di Desa Pai, Kecamatan Wera, Kabupaten Bima mengatakan, meroketnya harga bawang merah di pasar saat ini tak memberikan keuntungan baginya. Sebab bawang merah hasil panen saat ini dibanderol dengan harga rata-rata 3,3 juta rupiah per 100 kg. Pun harga bawang merah di NTB yang belakangan melonjak naik, kini sudah berangsur turun.
Di sisi lain, Presiden Joko Widodo ikut angkat bicara mengenai komoditas jagung. Ia mengatakan saat ini yang perlu dilakukan adalah menjaga keseimbangan harga, baik yang ada di tingkat petani maupun peternak. Keduanya tetap harus mempertahankan produksi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia. "Ya, ini memang baru panen besar. Semua daerah panen sehingga yang terjadi adalah harga turun karena over supply. Harga yang sebelumnya 7.000, sekarang turun menjadi 4.200. Artinya baik untuk peternak, tapi kurang baik untuk petani," tuturnya di area jagung Kelompok Tani Kedawan, Brang Biji, Kabupaten Sumbawa, NTB (tempo.com, 03/05/2024).
Ibarat dipermainkan, harga kedua komoditas tersebut terus naik dan turun. Masyarakat seringkali melayangkan protes akibat ketidakjelasan harga tersebut, namun tidak membuahkan hasil yang sepadan. Negara juga terlambat bertindak untuk mengatasi persoalan rakyat kecil, sehingga masalah terlanjur berlarut-larut dan muncul kericuhan. Meski akhirnya ada pematokan harga jagung dari pemerintah pusat, namun nyatanya tetap saja tidak bisa mencukupi kebutuhan para petani.
Hilangnya Fungsi Negara
Anjloknya harga hasil panen petani bukanlah berita baru, melainkan telah terjadi bertahun-tahun lamanya. Keuntungan yang tak seberapa, tidak sesuai dengan pengeluaran serta kerja keras selama proses tanam hingga panen. Belum lagi untuk membayar tenaga buruh yang digunakan. Hal ini jelas merugikan petani.
Jikalau keuntungan saja tidak mampu diraih, apatah lagi membahas bagaimana mereka dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari? Sedangkan masyarakat di Bima rata-rata menjadikan profesi petani sebagai satu-satunya jalan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ditambah dengan harga barang dan kebutuhan lain yang serba mahal semakin mencekik kehidupan mereka, maka terbayang betapa beratnya kehidupan mereka.
Naik turunnya harga pada hasil pertanian bukan tanpa sebab. Melainkan karena ketiadaan perhatian dari negara secara langsung. Negara yang menerapkan sistem sekuler menjadi penyebab utama akan problem yang berulang-ulang. Labilnya harga barang, bahan pangan, dan sejenisnya sudah menjadi _habit_ sepanjang tahun. Masyarakat dipaksa terbiasa untuk pasrah dengan keadaan walau begitu terasa sulitnya.
Sistem sekuler ini menjadikan negara menyerahkan tanggung jawabnya terhadap masyarakat. Ketiadaan campur tangan negara menjadikan masyarakat tidak terarah dalam mengelola alam di sekitarnya. Lihat saja bagaimana mereka menyalahgunakan lahan untuk bercocok tanam, semata-mata untuk meraih penghasilan dan menyambung hidup.
Seperti _euforia_ penanaman komoditi jagung di Dompu yang semakin merambah ke Kota Bima dan Kabupaten Bima. Selain lahan pertanian, kawasan hutan lindung pun berubah fungsi jadi area perladangan (Suara NTB, 27/12/2017). Sekarang kawasan hutan di pegunungan sisi barat Bendungan Pelaparado, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, tampak gundul dan beralih fungsi menjadi lahan jagung. Belum lagi dengan daerah terpencil, banyak yang menjadikan gunung sebagai ladang jagung.
Selain itu, hilangnya peran negara dalam proses distribusi komoditas pertanian akhirnya memunculkan pengusaha atau pihak swasta sebagai pengendali dalam sistem perekonomian termasuk penetapan harga. Ditambah kenyataan bahwa negara gencar melakukan impor komoditas, sehingga mekanisme pasar akhirnya rusak dan kemudian mereka mengambil jalan mematok harga.
Seperti inilah cara kerja sistem kapitalisme yang menjadikan penguasa sesungguhnya adalah swasta dan pemilik modal. Tidak peduli dengan pematokan harga membuat petani merasa keberatan atau tidak, karena keuntungan bagi kalangan mereka adalah faktor utama dalam negara sekuler ini. Materi menjadi kepentingan paling utama daripada kesakitan yang dirasakan oleh rakyat.
Solusi Ala Islam
Solusi terbaik untuk umat (rakyat) hanya bisa diraih dengan menerapkan syariat Islam secara kaffah di muka bumi. Sebab kedaulatan berasal dari Allah SWT dan Rasulullah Saw. melalui Al-Qur'an dan As-Sunnah. Dengan menjalankan syariatNya semua masalah akan terselesaikan. Sebab Islam lengkap mengatur sedemikian rupa, dari bangun tidur hingga bangun negara, baik persoalan kecil hingga persoalan besar. Begitupun dengan permasalahan umat saat ini hanya bisa diselesaikan oleh Islam dalam bentuk negara.
Dalam Islam yang akan bertanggung jawab pada umat serta mengontrol umat adalah negara. Sehingga permasalahan umat diselesaikan oleh negara, termasuk urusan pertanian. Tidak diambil alih oleh pihak pemilik modal, korporatokrasi, kartel dan lain sebagainya dalam hal mengatur naik turunnya harga. Untuk itu, butuh negara yang turun tangan langsung memberikan dukungan serta memfasilitasi produksi dan apapun yang akan dibutuhkan oleh petani, termasuk memastikan pendistribusiannya. Dengan itu, impor bahan pangan tidak dilakukan oleh daulah Islam (khilafah) ketika masih ada stok atau daulah mampu mengelolanya sendiri.
Islam pun akan memastikan harga bahan pangan mengikuti mekanisme pasar alami tanpa manipulasi serta menuntaskan distorsi pasar seperti keberadaan mafia, penimbunan dan penyelundupan yang merugikan masyarakat. Hal ini membuat pasar tidak akan mudah untuk dikuasai oleh pihak tertentu.
Dengan begitu petani mendapatkan penghasilan sesuai hasil panen serta kerja kerasnya. Umat tidak lagi akan pusing memikirkan persoalan naik turunnya harga untuk berbagai komoditas. Petani atau individu tidak akan menyalahgunakan hutan dan gunung untuk menyambung hidup, karena khalifah atau pemimpin negara dalam sistem Islam akan memastikan tersedianya lapangan kerja bagi umat, khususnya laki-laki. Negara juga mengontrol penuh cara pengelolaan tanah oleh umat. Ketika itu milik umum, maka pemanfaatannya atau hasilnya akan dikembalikan kepada umat, tidak diprivatisasi oleh individu tertentu. Begitulah kesempurnaan Islam dalam mengatur urusan pertanian.
Namun semua itu belum dirasakan oleh umat saat ini. Kesejahteraan dan solusi itu belum terlaksana sebab umat masih terperangkap dalam sistem sekularisme yang kian hari kian mengakar. Akan tetapi tidak ada kata terlambat dalam perjuangan menerapkan Islam kaffah. Dengan penyampaian dakwah guna membentuk kesadaran di tengah umat, perlahan sistem Islam akan semakin menjadi impian dengan landasan keimanan bagi setiap muslim. Sehingga umat atau kaum muslimin sendirilah yang akan menuntut sistem sekularisme diganti dengan sistem Islam dalam naungan khilafah. Karena hanya khilafah yang mampu menerapkan syariat Islam secara kaffah. (*)