Ilustrasi |
Oleh : Atina, SH (Pegiat Media)
Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan pesta demokrasi bagi rakyat Indonesia. Perhelatan 5 tahun sekali ini, memberikan kesempatan kepada rakyat untuk memilih langsung pemimpin negara Indonesia, kepala daerah dan perwakilan di lembaga legislatif.
Dalam sejarah kepemiluan Indonesia, tahun 2004 menorehkan sejarah baru yakni diterapkannya pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat.
Pada periode sebelumnya, Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) melalui sidang umum.
Pemilihan langsung yang ditetapkan pasca Reformasi tersebut diputuskan, untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam pemerintahan negara.
Hal ini sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945, yang mana menyebutkan Pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan secara langsung oleh rakyat.
Dalam perjalanannya, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden RI secara langsung ini menimbulkan dinamika politik yang baru di Indonesia.
Politisi mulai mengubah pergerakan mesin-mesin politiknya, satu di antaranya cara berkampanye.
Karena rakyat memiliki kedaulatan utuh untuk menentukan Presiden dan Wakil Presiden pilihannya sendiri, maka politisi baik itu Parpol dan pendukungnya, berupaya mengenalkan Identitas sosok yang dicalonkan.
Ironisnya, upaya mengenalkan identitas calon presiden yang disodorkan kepada rakyat ini kerap menyentuh hal-hal sensitif.
Seperti identitas agama, suku dan ras calon yang disodorkan untuk menjadi pemimpin Indonesia.
Sedangkan identitas berupa latar belakang pendidikan, intelektual, kapasitas, kapabilitas, hingga program unggulan yang ditawarkan bagi rakyat, justeru menjadi nomor kesekian untuk disodorkan ke rakyat.
Hasilnya, seperti yang dikenal saat ini munculnya Politik Identitas yang mengedepankan perbedaan Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA).
Seperti menurut para ahli, Politik identitas didefinisikan sebagai politik yang dasar utama kajiannya dilakukan untuk merangkul kesamaan relasi etnis, agama, hingga kelamin. Demikian Abdillah (2002).
Pada konteks yang lebih detail, Cressida Heyes dalam bukunya Stanford Encyclopedia of Philosophy (2007), politik Identitas diartikan sebagai jenis aktivitas politik yang dikaji secara teoritik berdasarkan kesamaan pengalaman dan ketidakadilan yang dirasakan golongan tertentu.
Era digital saat ini, membuat rakyat dengan cepat mengakses informasi apapun dan di mana pun, dengan sangat mudah.
Keberadaan telepon pintar atau handphone, semakin mempercepat penyebaran dan penyerapan informasi.
Bak dua sisi mata pisau, digitalisasi informasi ini menimbulkan dampak positif dan negatif.
Arus informasi saat ini tidak hanya disajikan media mainstream, tapi juga media sosial yang sekatnya sangat tipis jika dibandingkan dengan media mainstream, baik itu cetak atau online.
Pada masa kini, Media Sosial tidak hanya digunakan untuk wadah bersosialisasi dan eksistensi, tapi juga pendistribusian Informasi.
Hasilnya, propaganda politik Identitas banyak bermunculan di media sosial karena untuk memilih media mainstream, itu tidak dimungkinkan.
Derasnya arus informasi propaganda di media sosial ini, tidak sebanding dengan kecerdasan dan kebijakan masyarakat Indonesia, menyaring informasi tersebut.
Tidak sedikit, propaganda politik identitas sangat mudah kita temui di media sosial, dengan tampilan yang menarik.
Sejak Pemilu 2019 lalu, istilah Cebong dan Kampret begitu mudah kita baca dan lihat di media sosial.
Bahkan 2 istilah tersebut menjadi kata-kata yang digunakan, untuk mengkotak-kotakan pendukung 2 calon presiden.
Tidak hanya di kota-kota besar, tapi masif hingga ke daerah-daerah.
Pada Pemilu 2024 ini, kita tidak menemukan lagi istilah Cebong dan Kampret tapi istilah baru, seperti Kadrun dan Buzzer.
Ini bukan hanya sekedar istilah, tapi mengandung banyak perbedaan yang terus dikerucutkan di dalamnya.
Bukan hanya soal perbedaan sosok yang dipilih sebagai presiden, tapi ada perbedaan agama, suku dan ras yang dikandung dalam istilah-istilah tersebut.
Tanpa kita sadari, istilah Cebong, Kampret, Kadrun hingga Buzzer telah menjadi ancaman yang tidak terlihat bagi Indonesia.
Ancaman yang sangat ditakutkan oleh para pejuang kemerdekaan Indonesia dulu, yakni ancaman Persatuan dan Kesatuan Indonesia.
Sejatinya Pemilu sebagai media pembelajaran bagi rakyat Indonesia, untuk memahami secara dewasa sebuah perbedaan pandangan dan pilihan politik.
Lalu bagaimana posisi Badan Pengawas Pemilu di pusaran Politik Identitas?
Layaknya sebuah pertandingan sepakbola, Pemilu sebuah perhelatan pemilihan yang digelar secara sportif.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), bisa disebut sebagai wasit bagi seluruh pihak yang terlibat dalam Pemilu.
Pada Undang Undang Pemilihan Umum, irisan politik identitas diatur dalam penggunaan politik SARA diatur dalam Pasal 69 huruf b. Dalam pasal tersebut menyebutkan dalam masa kampanye dilarang menghina seseorang, Agama, Suku, Ras, Golongan. Baik itu terhadap Calon Gubernur, Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati, Calon Wakil Bupati, Calon Wali Kota, Calon Wakil Wali Kota, dan/atau Partai Politik.
Tapi menurut para ahli, di luar masa kampanye, Bawaslu tidak dapat menindaknya, sebab Bawaslu bekerja sesuai undang-undang. Tapi dalam konteks pencegahan pada prinsipnya Bawaslu tidak perlu terlalu terpaku pada regulasi dengan menempuh upaya upaya preventif.
Semakin maraknya penggunaan politik identitas saat ini, sudah waktunya Bawaslu bergerak secara masif untuk mencegah dan menerapkan strategi treatment awal.
Pendekatan secara langsung ke masyarakat, menjadi langkah paling baik untuk dilakukan.
Tentu saja, dengan melibatkan banyak unsur di masyarakat seperti tokoh masyarakat, tokoh agama, hingga tokoh pemuda dan perempuan.
Dengan memberikan pendidikan politik yang baik, maka masyarakat bisa menyaring sendiri informasi yang diperoleh.
Sehingga mampu membedakan, apakah informasi tersebut layak dikonsumsi atau tidak.
Namun yang tak kalah penting lagi adalah, Bawaslu juga harus memberikan penegasan kepada Peserta Pemilu, untuk tidak menggunakan politik identitas.
Jika Peserta Pemilu dalam hal ini Partai Politik bersepakat dan berkomitmen, maka akan diteruskan kepada pendukung-pendukungnya.
Perlahan namun pasti, polarisasi politik identitas akan bisa hilang dalam warna Pemilu Indonesia.
Digantikan oleh program-program cerdas dan solutif, yang ditawarkan oleh politisi-politisi di Indonesia.
Sehingga tujuan Pemilu untuk menghasilkan pemimpin yang berkualitas, benar-benar bisa terwujud.
Tentu saja yang lebih utama adalah, persatuan dan kesatuan Indonesia yang dibayar mahal dengan darah para Pahlawan tidak terancam.
Hal yang penting dicatat sebagai referensi, generasi muda yang masuk dalam kelompok Gen Z dan milenial adalah kelompok rentan yang terpapar negatifnya efek media sosial. Tapi sebaliknya, mereka justeru kelompok paling berpeluang dan efektif dilibatkan dalam kampanye anti politik identitas.
Mereka adalah kelompok yang tercatat dalam statistika 53,81 persen sebagai subjek aktif yang menentukan arah demokrasi Indonesia dengan hak pilihnya.
Kegemaran
mereka pada media sosial, juga dapat dikapitalisasi sebagai agen kampanye untuk
membentuk kesadaran politik masyarakat, bahwa identitas itu bukan lagi senjata
efektif karena memicu perpecahan sesama bangsa sendiri. (*)