Ilustrasi |
bimanews.id, Mataram-Direktur CV RA inisial HI sebelumnya ditetapkan tersangka kasus dugaan penyelewengan pupuk bersubsidi. Distributor pupuk wilayah Kecamatan Belo, Bolo, Donggo, dan Soromandi ini terancam 6 tahun penjara.
Dalam berkas perkaranya, HI dijerat dengan pasal 6 ayat 1 huruf a jo pasal 1 sub 1E huruf A Undang-undang Darurat Nomor 7 tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi jo pasal 4 huruf a jo pasal 8 ayat 1 dan 2.
Pasal tersebut menerangkan, barang-siapa melakukan suatu tindak-pidana ekonomi dalam hal kejahatan sekadar yang mengenai tindak-pidana ekonomi termasuk dalam pasal 1 sub 1 e dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 6 tahun dan hukuman denda setinggi-tingginya Rp 500 ribu.
Selain itu, HI juga dijerat melanggar Perpu RI Nomor 8 tahun 1962, tentang Perdagangan Barang-Barang Dalam Pengawasan jo pasal 2 ayat 1, 2, 3 dan 4. Ditambah Perpres Nomor 15 tahun 2011 tentang perubahan atas Perpres Nomor 77 tahun 2005 tentang Penetapan Pupuk Bersubsidi sebagai Barang Dalam Pengawasan jo pasal 30 ayat 1 jo pasal 18 ayat 1 dan Permendag RI Nomor 15/M-DAG/PER/4/2013 tentang Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi Untuk Sektor Pertanian.
Penanganan kasus ini sudah sampai pada tahap pelimpahan berkas. Tetapi berkas perkara HI dinyatakan belum lengkap. Karena itu, jaksa peneliti mengembalikan berkas kepada penyidik.
Dalam petunjuknya, jaksa menyebutkan ada beberapa kekurangan yang perlu dilengkapi lagi. "Ada yang belum lengkap atau kurang memenuhi syarat formil dan materiil, sehingga dikembalikan ke penyidik," kata Juru Bicara Kejati NTB Efrien Saputera, beberapa waktu lalu.
Direktur CV RA, HI dihubungi masih enggan berkomentar perihal penetapan dirinya sebagai tersangka. Dia berjanji dalam waktu dekat akan menyampaikan klarifikasi. ”Nanti pengacara saya yang sampaikan. Saya masih di luar daerah,” katanya saat dihubungi via ponsel.
Diketahui, penyaluran pupuk bersubsidi pada tahun 2021 diduga bermasalah. Petani mengeluhkan kelangkaan pupuk bersubsidi. Ditambah lagi harga pupuk yang mahal.
Masalah lainnya, pupuk bersubsidi jenis urea dijual melebihi HET. Seperti di Kecamatan Donggo dan Soromandi. Oknum pengecer diduga menjual pupuk urea bersubsidi isi 50 kilogram dengan harga Rp 125 ribu hingga Rp130 ribu.
Selain itu, para pengecer tidak pernah memberikan nota atau kuitansi pembelian kepada petani. Pupuk bersubsidi juga diduga dijual secara ilegal. Satu sak pupuk urea dilepas seharga Rp220 ribu.
Pada tahun 2021, CV Rahmawati mendapat jatah pupuk subsidi sebanyak 15 ribu ton untuk 7 kecamatan. Sementara tahun 2022, jatah pupuk distributor yang beralamat di Kecamatan Bolo, Bima dikurangi menjadi 6 ribu ton. Ribuan pupuk itu untuk petani di Kecamatan Belo, Bolo, Donggo dan Soromandi. (red)