Oleh, Iin Suprihatin (Statistisi Ahli Muda, BPS Kota Bima) |
Perempuan dengan segala jenis problematikanya memiliki sejarah panjang di negeri ini. Mirisnya tidak sedikit hasil kajian yang menyebutkan bahwa perempuan dan anak tergolong kelompok rentan mendapatkan masalah dari isu kekerasan, kemiskinan bahkan kesulitan dalam mengakses pasar kerja.
Meskipun menjadi populasi terbesar di Kota Bima yang mencapai 91.479 jiwa sampai saat ini perempuan dicap sebagai kelompok kelas kedua (subordinat) sehingga dianggap hanya mampu melaksanakan home based job atau dalam istilah ketenagakerjaanya adalah pekerja informal.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Propinsi NTB Indeks Pembangunan Gender (IPG) Kota Bima sejak empat tahun terakhir menunjukkan nilai yang tidak stabil. Hal ini mengindikasikan program pemerintah berbasis gender belum memberikan hasil positif terhadap peningkatan kapasitas dasar perempuan Kota Bima.
Meskipun demikian dengan capaian IPG Kota Bima pada tahun 2021 ini yaitu sebesar 96,41 persen menunjukkan pemerintah telah mampu mengurangi gap secara nyata dalam pencapaian kemampuan dasar laki-laki dan perempuan.
Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) Kota Bima mengalami peningkatan sebesar 0,58 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Disinyalir meningkatnya proporsi perempuan yang berstatus tenaga kerja professional juga keterwakilan perempuan di parlemen merupakan pengungkit dari IDG ini.
Jadi dapat dikatakan daya tawar perempuan Kota Bima dalam pengambilan kebijakan relative menguat dibandingkan tahun sebelumnya.
Kenaikan IDG ini tidak diikuti oleh indeks perempuan sebagai tenaga professional yang hanya 47,80 persen. Mirisnya sejak 4 tahun terakhir terjadi trend penurunan indeks tersebut.
Terkait penurunan ini perlu dilakukan kajian mendalam, selain itu pemerintah harus mendorong kebijakan dengan perspektif kesetaraan dan keadilan gender yang terefleksi dari aturan dan program yang responsive gender bukan sebaliknya bias gender.
Masih dari data BPS, sumbangan pendapatan perempuan Kota Bima memiliki trend naik namun hanya sekitar 38,2 persen. Angka ini merefleksikan kedudukan perempuan di pasar kerja yang belum diperhitungkan.
Situasi ini bisa saja disebabkan oleh berbagai faktor. Namun aspek ketidaksetaraan gender menjadi faktor determinan.
Meskipun telah banyak program, kebijakan dan peraturan, diskriminasi antar gender masih sering terjadi di pasar kerja. Hal ini dikarenakan implementasinya yang belum optimal.
Penghapusan diskriminasi gender dalam ekonomi tidak hanya menjadi peran pemerintah saja, lebih jauh lagi. Sehingga perlu mendapat dukungan dari berbagai pihak, seperti pengusaha, lingkungan kerja, keluarga hingga masyarakat.
Perempuan juga berhak untuk mendapatkan pekerjaan, jabatan, promosi, juga pelatihan demi meningkatkan kualitas dan kapasitasnya. Sehingga nantinya perempuan bisa menjadi actor strategis di dalam pembangunan, tidak hanya di Kota Bima tetapi juga pembangunan juga secara nasional sehingga mampu mengubah kehidupan masyarak lebih baik dan sejahtera. (*)