Ilustrasi |
BimaNews.id, BIMA-Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) NTB terkait pembangunan Masjid Agung Bima menuai polemik.
Ada perbedaan
pemahaman soal wajib atau tidak penyedia jasa membayar Pajak Penambahan Nilai
(PPN). Denda dan sisa volume pekerjaan,
justru mematik anggapan tiga item temuan tersebut masih dini alias prematur.
Berdasarkan
rincian LHP BPK NTB terhadap realisasi APBD Kabupaten Bima tahun anggaran 2021,
ada tiga item yang ditemukan berpotensi terjadi kerugian daerah.
Yakni,
temuan berupa Denda Keterlambat Belum Dibayar
Rp 832.075.708 juta. Kekurangan Volume Pekerjaan Konstruksi Rp 497.481.748 juta
dan Kelebihan Pembayaran PPN Rp 7.092.727.273 miliar. Sehingga total temuan BPK
NTB Rp 8,4 miliar lebih.
Pejabat
Pembuat Komitmen (PPK) proyek Pembangunan Masjid Agung Bima Syarief H. Ndae
menjelaskan, pekerjaan dinyatakan 100 persen setelah diberikan kesempatan 2
kali sampai dengan 7 Maret 2022.
"Itu
berdasarkan berita acara PHO," jelasnya.
Sedangkan,
temuan BPK berdasarkan kontrak awal sampai dengan 17 Desember 2021.
"Temuan
BPK tersebut masih ada sisa pekerjaan yang belum selesai. Sisa pekerjaan itulah
yang dijadikan temuan," jelasnya.
Soal sisa
volume pekerjaan jelasnya, pada item pekerjaan kubah masjid, semula menggunakan
beton menual. Namun pada tahap pelaksanaan menggunakan jenis beton GRC dengan
harga satuan yang lebih mahal.
"Tapi
hal tersebut tidak masuk dalam addendum kontrak. Bila dimasukan dalam addendum,
akan berubah nilai kontraknya karena beton GRC harganya lebih mahal. Maka
diputuskan dalam Berita acara rapat bersama APIP," tuturnya.
Kesimpulan
penggunaan jenis beton GRC disepakati bersama penyedia jasa dengan komitmen
tidak ada penambahan anggaran.
"Perubahan
penggunaan jenis beton itu juga berkaitan alasan teknis dari segi keamanan,
kerapian dan estetika," bebernya.
Selain itu, pada
saat pemeriksaan oleh BPK per 17 Desember 2021 belum dipasang WC, lampu dan
aksesoris lain karena faktor keamanan.
"Soalnya
barang sering hilang," sebutnya.
Kaitan
dengan denda, diakui memang menjadi risiko penyedia jasa apabila terlambat
menyelesaikan pekerjaan. Sehingga dikenai denda dengan hitungan menggunakan rumus
1/1000×80 hari keterlambatan × sisa pekerjaan.
"Soal
PPN, saat ini sedang dalam proses. Semoga uangnya cepat dikembalikan," harapnya.
Kenapa retensi
5 persen dari nilai kontrak dibayar lunas padahal pekerjaan belum selesai? Hal itu kata Syarif sesuai aturan baku. Dana retensi dibayarkan bila penyedia ada
jaminan pemeliharaan.
"Sedangkan
LHP BPK baru keluar sekarang sementara pekerjaan sudah selesai 100 persen pada
7 Maret 2022," ujarnya.
Mengapa
termin terakhir bisa cair sementara uang denda belum dibayar oleh penyedia?
Syarief mempersilakan wartawan untuk klarifikasi pada penyedia jasa.
"Denda
wajib dibayarkan atau silakan gunakan hak untuk klarifikasi dari
penyedia," sarannya.
Menyoal
amanat peraturan tentang pengadaan barang dan jasa kaitan sisa termin menjadi
hangus disebabkan pekerjaan telat dari masa kontrak. Dia mengaku LHP BPK NTB
baru diterima pihaknya 5 hari lalu.
"Pemeriksaan
BPK pakai kontrak awal," tampilnya. (fir)