Ilustrasi |
BimaNews.id,MATARAM–Dua
kasus joki cilik meninggal menjadi
catatan buruk event pacuan kuda di NTB. Selain Muhammad Alfian yang meninggal saat
latihan di arena Pacuan Kuda Desa Panda, Kabupaten Bima, Minggu (5/3).
Kejadian serupa
tahun 2019lalu, korbannya Salsabila,
asal Desa Roka, Kecamatan Palibelo. Bocah 9 tahun itu meninggal setelah terjatuh
dari kuda pacuan yang ditunggangi saat event pacuan kuda di arena Sambinae,
Kecamatan Mpunda, Kota Bima.
Kejadian itu
mendorong Lembaga Perlindungan Anak (LPA) dan pemerhati budaya untuk menghentikan
praktik eksploitasi anak di arena pacuan kuda. Sementara di sisi lain,
pemerintah dan pecinta pacuan menganggap joki cilik sebagai warisan budaya
nenek moyang.
Pemerhati Budaya, Paox Iben Mudhaffar melalui laman media sosialnya menyoroti kebijakan pemerintah terkait pelibatan anak pada di arena pacuan kuda.
“Saya tidak
mau terseret dengan hiruk pikuk atau euforia MotoGP Mandalika. Sama-sama
balapan, tapi perlakuannya sungguh berbeda dengan pacuan kuda yang menggunakan
joki anak-anak,” sorot Paox Iben.
Pelibatan
anak pada pacuan kuda menurut dia, sangat disayangkan. Padahal sudah tak
terhitung lagi berapa nyawa anak-anak yang menjadi korban di arena pacuan kuda.
“Kemana
pemerintah daerah dalam hal ini. Apakah pemilik kuda-kuda itu bisa dituntut.
Apakah aparat penegak hukum bergerak,” tanya Paox.
Menurut
Paox, Zulkieflimansyah sebagai Gubernur NTB dan pemilik kuda-kuda juara harus
turun tangan soal ini. Hentikan pacuan bila belum ada pengaman yang standar dan
sistem yang memadai. Seperti batas usia, klasifikasi kuda dan penunggang, serta
sertifikasi atau kelayakan joki.
Sorotan Paox ditanggapi warganet. Termasuk Gubernur NTB Zulkieflimansyah ikut menanggapi di kolom komentar. Bang Zul sapaan akrab Gubernur sepakat dengan ide tersebut. Kalau panitia disiplin semua persyaratan keamanan dan kesehatan harus lengkap dan tersedia.
“Tapi,
persoalan joki cilik ini memang pelik.
Melarangnya pasti akan dapat tantangan keras atas nama kebiasaan dan budaya,”
kata Gubernur.
Bang Zul
mengaku, sebenarnya sedang terjadi perubahan secara perlahan dengan semakin
banyaknya kuda-kuda besar yang dipacu di NTB. Dengan demikian, klasifikasi joki
harus diterapkan sesuai dengan ukuran kuda berdasarkan standar nasional.
“Semakin
besar kudanya maka joki harus besar pula. Ketika standar nasional mulai
diberlakukan, maka saat itu nggak ada lagi joki-joki cilik. Standar nasional
itu ketat, menyangkut berat joki, usia, peralatan joki dan lain-lain,” terangnya.
(red)