BimaNews.id, MATARAM -Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) NTB bersama forum wartawan ekonomi menggelar pelatihan jurnalistik pada ratusan mahasiswa di Pulau lombok. Sebagai upaya memberikan pemahaman tentang karya jurnalistik, kode etik jurnalis dan Undang-undang pers.
Kegiatan yang
dirangkaikan dengan literasi keuangan ini bekerjasama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) NTB
di gedung Handayani Dinas Dikbud NTB, Kamis (24/2).
Kegiatan ini
dibuka Gubernur NTB, DR Zulkieflimansyah. Dihadiri Kepala OJK NTB Rico Rinaldy,
Ketua PWI NTB Nasrudin, Kepala Dinas Dikbud NTB, DR Aidy Furqon, dan Kepala
Dinas Kominfotik, DR Najamudin Amy.
Peserta
mendapatkan materi tentang Jurnalisme Digital dan Kode Etik Jurnalistik. Kepala
LKBN Antara Biro NTB Riza Fachriza menjelaskan, saat ini media dihadapkan pada era digital.
Media yang dulunya orientasi cetak dituntut bertransformasi ke digital.
“Media digital saat ini sangat banyak dan
masif, itu tidak bisa direm. Dengan banyaknya media, tantangan kita semua bagaimana melawan berita
hoax, kita bisa memanfaatkan teknologi digital yang kita miliki untuk melawan
hoax. Semua orang saat ini berinteraksi dengan digital mulai dari bangun
tidur,” jelas Riza.
Mahasiswa
penting untuk memahami dasar jurnalistik dan dunia digital. Supaya bisa
memanfaatkan smartphone yang dimiliki untuk melawan berita hoax.
“Mahasiswa
harus membaca berita dari media yang sudah jelas, karena di media ada
tahapannya dari wartawan ke redaktur, kemudian ada juga ahli bahasanya. Itu
struktur standar media. Redaktur itu menilai layak atau tidak layak sebuah
berita, kemudian dilihat secara bahasanya. Kita menggunakan KBBI. Itu yang kita
gunakan untuk memuat berita,” jelas Riza.
Ada dua
bentuk karya jurnalistik . Pertama straight news yang merupakan berita
langsung, kemudian ada indept news atau berita investigasi yang mengungkap
masalah sampai dalam.
“Kalau
stright news harus langsung naik sesuai dengan hari peristiwa tersebut terjadi.
Indept news membutuhkan waktu untuk mengumpulkan data, bisa sampai satu bulan,”
tandasnya.
Sementara
itu, Ketua PWI NTB Nasrudin menjelaskan wartawan harus menjunjung kode etik
jurnalistik dalam bekerja agar tidak melanggar dan menjaga indepensi.
“Kode etik
jurnalistik ibaratnya kitab suci bagi wartawan. Menjadi pedoman moral, pedoman
bekerja wartawan. Salah satu pasalnya, wartawan harus bersikap independen,
profesional dan beritikad baik. Kalau kita linearkan dengan agama itu
bergantung dengan niat. Wartawan membuat berita bergantung ke niatnya, kalau
niatnya buruk maka hasilnya akan buruk,” jelas Nasrudin.
Jika
wartawan tidak mampu menerapkan kode etik jurnalistik dalam bekerja, akan mendapatkan sanksi sosial berupa turunnya
kepercayaan publik terhadap kerja jurnalistik dan media tempat wartawan
bernaung.
“Memang kode
etik tidak ada sanksi pidananya. Tetapi ada sanksi sosial berupa tidak
percayanya publik terhadap media dan itu sangat berat,” kata Nasrudin.
Sementara
itu Supriyanto Hafid membagikan pengalamannya sebagai jurnalis di NTB. Hafid
menceritakan kerja jurnalis penuh tantangan dan penuh resiko.
“Saya mulai
mengenal jurnalistik tahun 1984, saat itu saya sudah PNS, 8 tahun sebagai
pegawai negeri dan punya jabatan. Waktu itu saya bekerja sebagai wartawan
majalah Tempo. Belum punya koran dan onliine." ceritanya.
Suprianto juga menceritakan tentang nasibnya
yang pernah di ungsikan ke surabaya selama 7 bulan oleh medianya karena mendapat
protes keras dari masyarakat Lombok tentang karya jurnalistiknya. Saat itu,
tempo menulis tentang "Mencuri Adalah Warisan Adat Sasak", yang
memicu reaksi masyarakat.
"Itu
yang fatal, yang membuat ketersinggungan warga Lombok. Leadnya memang menjual
sekali. 7 bulan saya mengungsi di Surabaya jauh dari keluarga. Tetapi bagusnya
Tempo memfasilitasi keluarga mengunjungi saya ke Surabaya," cerita
H.Supriyanto di depan peserta. (red)