Jaenab, penjual jajan khas Bima keliling dari kantor ke kantor saat istirahat di Kantor DPRD Kabupaten Bima |
HIDUP sebagai single parent sejak
ditinggalkan sang suami 16 tahun silam, membuat Jaenab harus kuat. Menjadi ibu
sekaligus ayah bagi dua orang anaknya.
Hingga usainya kini masuk senja, Jaenab
masih terus bekerja.
---------------------------
Tidak seperti kebanyakan Lanjut Usian
(Lansia). Memasuki usia ujur, banyak menghabiskan waktu untuk bercengkerama
dengan cucu dan beribadah.
Bagi Jaenab, tidak ada waktu untuk
berleha-leha. Setiap hari dia harus bekerja, agar asap di rumahnya bisa
mengepul.
Wanita asal Desa Kananga, Kecamatan
Bolo ini, setiap hari berangkat ke Kota Bima menjajakan kue khas Bima. Keluar
masuk kantor menawarkan dagangannya.
Ditemui di Kantor DPRD Kabupaten Bima,
Jaenab mengisahkan perjalanan
hidupnya. Menikah tahun 1975 dengan
mendiang Ibrahim.
Dua tahun menikah, mereka dikarunia
anak yang kini sudah berkeluarga. Beberapa tahun kemudian melahirkan anak
kedua.
"Anak kedua belum nikah, dia
masih tinggal bersama saya," katanya.
Kebahagiaan rumah tangga kecilnya
tidak bertahan lama. Suami tercinta meninggal tahun 2006. Sejak saat itu,
Jaenab menjadi tulang punggung bagi dua orang anaknya.
Karena hidup harus terus dijalani.
Jaenab bekerja apa saja untuk mendapatkan uang untuk hidup bersama dua anaknya,
asal halal.
Pada musim tanam atau panen, dia
bekerja sebagai buruh tani. Itupun ketika diajak oleh tetangga. Dari pekerjaan
itu, dia hanya dapat upah Rp 50 ribu per hari.
Karena usia makin tua, tenaga banyak
berkurang. Jaenab tidak kuat lagi bekerja sebagai buruh tani. Enam tahun
terakhir, dia mulai jual keliling menjajakan kue khas Bima.
"Saya sudah tidak kuat lagi kerja
sebagai buruh,’’ aku nenek dua cucu ini.
Setiap hari Jaenab harus pulang pergi (PP)
dari Bolo ke Kota Bima, kecuali hari Sabtu dan Minggu, menjajakan kue khas
Bima. Barang yang dijual bukan miliknya, melainkan punya orang. Dia hanya dapat
prosentase.
Dari rumah, ia berangkat naik bis sekitar pukul 08.00 Wita
dari Bolo ke Kota Bima. Sore sekitar pukul 17.00 Wita baru kembali ke rumah.
Tidak banyak yang diperoleh dari
menjual jajan itu. Jika dagangannya habis terjual, hanya mendapat Rp 30 ribu.
Kalau masih ada sisa, hanya dapat Rp 20
hingga Rp 25 ribu.
"Hanya cukup beli beras dan
sayur. Untuk beli yang lain pasti tidak cukup," katanya sendu.
Selama melakoni pekerjaan sebagai penjual jajan, Jaenab mengaku kerap
diminta keluarga untuk berhenti. Permintaan itu bisa saja ia dituruti, asal ada
yang sanggup membiayai hidupnya. Paling tidak, rutin memberikan beras setiap bulan.
Namun hal itu dirasa sulit, karena
kondisi ekonomi mereka sendiri juga pas-pasan. "Keluarga ada yang rutin
ngasih beras tiap bulan, tapi tidak banyak. Hanya dua sampai tiga kilogram,"
sebutnya.
Dengan kondisi seperti itu, Jaenab harus terus menjalani aktivitasnya sebagai
penjual jajan keliling. Dia akan berhenti ketika tenaganya sudah benar-benar
sudah tidak kuat lagi untuk jalan. (Juliadin)