Oleh: Yacob Yahya, SE, Ak, MBA. (Pegawai Kantor Pelayanan Pajak Pratama Sumbawa Besar)
Merespons
permintaan presiden, kementerian kesehatan akhirnya mengatur bahwa harga tes
PCR di Jawa-Bali paling tinggi Rp 495 ribu, sedangkan di luar Jawa-Bali
termahal Rp 525 ribu.
Jika dibandingkan dengan beberapa
negara, harga tes PCR di Indonesia lebih mahal. Kota Delhi, India, menerapkan
harga tes PCR Rp 96 ribu (500 rupee). Negeri jiran Malaysia mematok tarif Rp 679
ribu (200 ringgit). Filipina memberlakukan harga Rp 427 ribu (1.500 peso). Vietnam
menawarkan harga Rp 460 ribu (734 ribu dong). Turki mengenakan harga Rp 422
ribu (250 lira). Ukraina rata-rata menetapkan harga Rp 654 ribu hingga Rp 800
ribu (1.200 – 1.500 hryvina). Di Rusia, biaya tes PCR berkisar mulai Rp 316
ribu hingga Rp 431 ribu (22 – 30 dolar AS). Ada pun, tes dengan hasil keluar
dalam dua jam, dikenakan harga Rp 517 ribu (36 dolar AS).
Lalu, benarkah tingginya biaya tes PCR
di Indonesia lantaran pajak? Melalui keterangan di berbagai media, pihak
kementerian kesehatan lebih menekankan harga bahan baku, termasuk reagen, yang
masih diimpor yang menjadi penyebab harga tes PCR masih mahal. Apakah impor
bahan baku tes PCR dikenakan pajak? Justru melalui Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 83/PMK.03/2021 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor
239/PMK.03/2020, tentang Pemberian Fasilitas Pajak terhadap Barang dan Jasa
yang Diperlukan Dalam Rangka Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 dan
Perpanjangan Pemberlakuan Fasilitas Pajak Penghasilan Berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 29 Tahun 2020 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan Dalam Rangka
Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), pemerintah menyediakan
sejumlah fasilitas pajak atas pengadaan barang dan jasa terkait penanganan
wabah COVID-19. Penyediaan fasilitas perpajakan itu pun diperpanjang menjadi
sampai dengan 31 Desember 2021.
Sejumlah fasilitas pajak tersebut
antara lain Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tidak dipungut dan pembebasan
pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 atas impor atau perolehan barang
kena pajak berupa obat-obatan, vaksin dan peralatan pendukung vaksinasi,
peralatan laboratorium, peralatan pendeteksi, peralatan pelindung diri,
peralatan untuk perawatan pasien, atau peralatan pendukung lainnya oleh
badan/instansi pemerintah, rumah sakit, atau pihak lain (pihak tertentu).
Pembebasan
pajak atau pajak ditanggung pemerintah (DTP) untuk vaksin dan alat kesehatan
disiapkan Rp20,85 triliun. Agar mempercepat proses vaksinasi, Pemerintah juga
mengguyur sejumlah kemudahan untuk importasi vaksin, yakni berupa fasilitas
pembebasan bea masuk dan/atau cukai, tidak dipungut PPN, dan dibebaskan dari
PPh Pasal 22 Impor. Selain itu, vial vaksin impor juga dilayani dengan rush
handling, yakni layanan kepabeanan atas barang impor tertentu yang karena
karakteristiknya memerlukan pelayanan segera untuk dikeluarkan dari kawaan
pabean.
Selain itu, Undang-Undang PPN juga menegaskan bahwa jasa pelayanan kesehatan medis seperti jasa dokter umum, dokter spesialis, jasa paramedis dan perawat, jasa rumah sakit, klinik kesehatan, serta laboratorium kesehatan bukan merupakan jasa kena pajak sehingga tidak dipungut PPN.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pajak
tidak membuat harga tes PCR mahal. Bahkan, pajak justru menyediakan sejumlah
insentif dan kemudahan pengadaan barang dan jasa dalam rangka penanganan
pandemi COVID-19 ini. Oleh karena itu, ini merupakan kesempatan yang tepat bagi
masyarakat untuk memanfaatkan fasilitas perpajakan ini sesuai dengan ketentuan. (*)