Potongan karcis retribusi yang tertulis Dinas Koperasi dan Perindustrian Kota Bima, tapi gunakan stempel DPPKAD untuk PKL bakulan. |
BimaNews.id, KOTA BIMA- Dinas Koperasi Industri dan Perdagangan (Diskoperindag) Kota Bima tidak membantah, jika pihaknya menarik retribusi terhadap Pedagang Kaki Lima (PKL). Hanya saja, kebijakan itu tidak berlaku untuk semua PKL. Kecuali, yang berjualan di area pasar di Pasar Paruga dan Sarae.
"PKL yang berjualan di dua lokasi itu, kami tarik retribusinya Rp 1.000 tiap hari," jelas Kabid Industri dan Perdagangan, Diskoperindag Kota Bima, Rusnah SE, Selasa (8/6).
Penarikan
restribusi tersebut jelas dia, sudah diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Kota
Bima, Nomor 11 Tahun 2020, tentang penataan PKL. Hanya saja, di Perda tersebut
tidak merinci jumlah retribusi yang akan ditarik ke PKL. Hanya mengatur berupa
hak, kewajiban dan larangan. Termasuk pembinaan dan pengawasan terhadap PKL
selama berjualan.
Sementara
PKL yang berjualan di atas trotoar kata Rusnah, itu kewenangan Badan Pengelola
Keuangan Daerah (BPKAD).
"Kita hanya di pasar saja. Kalau yang jualan di trotoar, itu kewenagan BPKAD. Untuk lebih jelasnya, silakan tanya ke BPKAD," sarannya.
Sementara
PKL bakulan yang berjualan di atas trotoar depan gedung Paruga Na'e mengaku,
membayar retribusi Rp 2.000 per hari.
"Pada
kercis yang biasa pegawai sodorkan, tertulis pemerintah Kota Bima melalui
Diskoperindag. Tapi stempelnya tertulis BPKAD," terang Sarjan, PKL
setempat.
Selain
retribusi, Sarjan juga membayar tagihan Rp 10 ribu per bulan untuk biaya
kebersihan. Uang tersebut di bayar ke Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Bima.
"Rutin
kita bayar, tidak pernah nunggak," bebernya.
Hal senada
juga disampaikan PKL lain, Jihan. Ia mengaku selama jualan di lokasi itu,
selalu ditagih retribusi oleh dua pegawai yang berbeda.
"Biasanya
mereka tagih pada malam hari sekitar pukul 20. 00 Wita dan tidak pakai baju
dinas," terangnya. (jul)