Pertunjukan wayang yang digelar AJI Mataram, memperingati WPFD tahun 2021 |
BimaNews.id, MATARAM-Memperingati Word Press Freedom Day (WPFD) Senin (3/5), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Mataram menggelar pertunjukan Wayang Kulit. Keprihatinan terhadap kebebasan pers, diungkap selama pertunjukan.
Pertunjukan
wayang itu berlangsung di Sekertariat AJI, bertajuk “Pewarah Gumi Paer” secara
virtual, Minggu (2/5/2021).
Wayang kulit
itu mengangkat sosok bernama Raden Umar Maye, putra Jumiril Patih Mekah. Ia
menjadi tokoh paling disegani karena kesaktian dan kebaikannya.
Umar Maye
sendiri memiliki Gegandek (tas berbahan bambu) yang dipakai menyimpan segala
kebutuhan rakyat termasuk mampu melipat dunia. Kini dikenal dengan Dunia dalam
lipatan atau genggaman.
Raden Umar
Maye menceritakan tentang negeri Sia (sia-sia) di zaman yang suram. Zaman
kebebasan akses informasi dianggap para penguasa kian dekat dengan sifat korup.
Bahkan pengusaha bekerjasama, bersekongkol menguasai dunia.
“Pra
laraning pati… pira laraning gesang durung mati mas pangeran (mereka tak pernah
berpikir betapa sengsaranya jika nanti akan mati…betapa sengsaranya bila
menderita sebelum kematian datang),” kata Raden Umar Maye pada pertunjukan
wayang tersebut.
Adegan lain
dalam pertunjukan, saat Raden Umar Maye hendak meliput sebuah hajatan salah
satu pejabat. Namun mendapatkan tindakan kekerasan dari pihak pengamanan pesta.
Hal ini untuk
mengingatkan terhadap tindakan kekerasan yang didapatkan jurnalis insede lombok
di Lombok Timur. Kejadian lain adalah Nurhadi, Jurnalis Tempo yang sempat dipukul
dan dicekik di Surabaya.
Pada adegan
itu, Raden Umar Maye pun menitip pesan kepada negara dan para Jurnalis atau
Pewarah di NTB.
“Sebuah
negara yang maju, negara yang kuat. Negara yang aman, negara yang tentram
adalah negara yang memiliki nilai kebebasan pers yang tinggi. Dan menjunjung
tinggi nilai demokrasi,” kata Raden Umar Maye.
Penulis
Naskah Wayang Sasak Pewarah Gumi Paer adalah Fitri Rahmawati, pendiri sekolah
Dalang Wayang Sasak. Naskah sederhana ini menggambarkan bagaimana para Pewarah
atau Pewarta bekerja keras menyampaikan kebenaran dan fakta bagi publik.
“Meski
kadangkala mereka bertaruh nyawa untuk sebuah informasi demi kepentingan rakyat
atau publik,” terang Pikong, sapaannya, juga seorang jurnalis Kompas TV.
Sementara
itu, Ketua Aliansi Jurnalis Independen Sirtupillaili mengatakan, pada lakon
utama Raden Umar Maye, Pewarah Gumi Paer berpesan agar negara, aparat hingga
warga negara wajib melindungi “Pewarah” sebagai bentuk kebebasan. Baik dalam
menyebar informasi dan dalam mencari informasi.
Ia
mengatakan peringatan WPFD di NTB tentunya masih menyisakan catatan buruk bagi
Pewarah atau Jurnalis di NTB.
Beberapa
kasus kekerasan Pers Indonesia, baik di lingkup Provinsi NTB dan di luar NTB
seperti yang dialami Jurnalis Tempo di Surabaya menjadi catatan buruk
kemerdekaan Pers di Indonesia.
“Contoh
nyata kekerasan Pers juga dialami oleh salah satu Jurnalis insidelombok di
Lombok Timur. Dia dicekik dan dipukul saat meliput. Ini tidak bisa dianggap
sepele,” kata Sirtu.
Dalam
menjaga kebebasan Pers kata Sirtu, semua harus punya pemahaman yang sama
tentang kemerdekaan Pers. Baik pejabat publik aparat, maupun masyarakat.