Inilah Uma Leme yang menjadi tempat sakral bagi warga Desa Mbawa Donggo untuk menyelesaikan persoalan yang terjadi di desa maupun antar warga |
Kristen Katolik, Protestan dan Muslim, hidup dalam satu atap kerukunan di Desa Mbawa, Kecamatan Donggo, Kabupaten Bima. Jauh dari sentimen agama, rasisme, emosional dan perbedaan latarbelakang dalam keseharian. Pluralisme ini telah memutus sekat perkawinan beda keyakinan sejak tahun 1970. Inilah realitas yang terawat, menjadi segmen menarik untuk edukasi sekaligus pariwisata. Bagaimana gambaran tantangan memelihara kerukunan di sana? Berikut catatan Atina, wartawan Radar Tambora.
Lucia Marni
dan Paulus Isak bergegas menuju sebuah gubuk sederhana berbentuk lancip. Warga
lain mengiringi langkah cemas keduanya. Di rumah lancip, konstruksi dasar kayu dan atap ilalang ,
usianya sudah ratusan tahun. Rumah adat Uma Leme konon dibangun Ncuhi
Mbawa dengan tinggi sekitar 7 meter,
panjang dan lebar 3 x 4 meter.
Di sana,
sejumlah tetua adat menunggu kedatangan pasangan yang sepertinya sulit
dipisahkan, Lucia Marni dan Paulus. Mereka akan melalui proses “pengadilan”
adat.
Lucia Marni,
awalnya seorang gadis Muslim di Desa
Mbawa. Saat duduk di bangku SMA, dara yang
sebelumnya bernama Rini ini, jatuh cinta pada seorang pemuda Katolik bernama
Paulus Isak. Keduanya berpacaran. Merasa
cocok satu sama lain. Merekapun sepakat ke
jenjang pernikahan.
Namun kisah
cinta mereka tidak mulus. Bukan saja karena perbedaan latarbelakang keluarga,
tapi lebih berat. Karena mereka beda keyakinan.
Perasaan
cinta Lucia yang terus terawat kepada Paulus, membawanya pada keputusan teramat
sulit dan berat. Dia harus memperjuangkan dua hal sekaligus. Cinta dan siap
menerima resiko harus pindah agama, mengikuti keyakinan pujaan hati.
Saat ditemui
Radar Tambora Rabu (14/4), Lucia mengisahkan keinginan yang kuat menikah dengan Paulus, namun ditentang
keluarga. Beruntung, diantara pertentangan itu
Lucia masih mendapat dukungan dari kedua orang tuanya.
"Orang
tua saya menerima saja, mana yang terbaik. Namun yang menentang itu, dari
keluarga yang lain," ungkap Lucia.
Pertentangan
kuat itu memaksanya berkali-kali
selarian dengan Paulus. Tidak ada pilihan lain untuk menghindari
pertentangan itu. Namun saat bersamaan pula,
berkali-kali pula kedua pasangan
mabuk asmara ini dikembalikan ke orang tua mereka.
Hingga pada
akhirnya, tokoh adat urun rembug dengan tokoh agama. Mereka turun tangan menyelesaikan persoalan serius,
karena sudah melibatkan dua keluarga besar.
Bahkan keluarga Lucia sempat melibatkan
Polisi untuk memediasi.
"Saya
tetap bersikukuh. Saya ingin mengikuti suami saya. Orang tua saya pun tidak menentangnya,
" kata Lucia.
Selain orang
tua, lingkungan sekitar Lucia juga memberikan dukungan atas pilihan yang diambil. Ia beruntung hidup
di lingkungan yang menghargai pilihannya. Samasekali tidak dikucilkan oleh masyarakat di
dusunnya, meskipun mayoritas Muslim.
Kisah mereka
sampai pada titik di mana para tetua adat dan tokoh agama berembug di Uma Leme.
Menyelesaian masalah, sehingga hubungan
keduanya direstui. Nilai ketokohan dari
tokoh adat dan tokoh agama yang kuat, sehingga itu diterima pihak keluarga.
Meski sebagian masih belum menerima
dengan terbuka.
Wujud
dukungan itu terlihat dari orang tua dan warga yang menghadiri pemberkatan
pernikahan mereka di Gereja ST Yohanes Maria Vianney Dusun Tolonggeru, Desa
Mbawa, Kecamatan Donggo, Kabupaten Bima.
"Tetangga
dan orang kampung biasa saja. Tidak ada yang mengucilkan atau gimanain saya.
Saat saya nikah, mereka hadir. Hanya beberapa keluarga terdekat, yang belum
bisa terima saya memeluk Katolik, "
ungkapnya.
Kini Luciana
sudah memiliki tiga anak dan hidup bahagia bersama Paulus. Fakta menarik dari
hubungan keluarga ini, kedua orang tua
Luciana hidup bersama dengan mereka dengan tetap memeluk agama Islam.
"Ibu
saya masih kuat dan tetap memeluk Islam dengan taat. Sama sekali tidak ada
masalah yang muncul soal agama diantara kami, " tandas Luciana.
Kerabat yang
sempat menentang pernikahannya dulu, kini sudah menerima dan jalinan
silaturahmi tetap terjaga.
Prahara Cinta dan Hukum Adat
Di Desa
Mbawa, banyak kisah pernikahan yang diawali dengan perbedaan agama. Jika di
daerah lain di Indonesia menganggap, mereka yang pindah agama karena pernikahan
merupakan masalah besar. Bagi penduduk Desa Mbawa, bukan sesuatu yang baru.
Suherman H
Yasin, menikah dengan seorang gadis
Katholik bernama Naimah. Pacaran hanya beberapa bulan, lalu mereka sepakat
menikah. Sempat ragu karena perbedaan keyakinan, tapi Naimah dengan tegas
menyatakan, siap menjadi mualaf.
"Kebetulan
di keluarga saya, sudah ada yang jadi
mualaf, " ungkap Naimah.
Suherman
sempat Ne'e Uma Tua (selarian) dengan Naimah. Merupakan adat lama di Desa Mbawa ketika ingin
menikahi seorang gadis.
Saat itu,
para tetua adat, kepala dusun, kepala desa dan orang tua dua calon pengantin
bertemu membahas jalan terbaik untuk Suherman dan Naimah. Kata sepakat, mereka menikah
secara Islam, setelah Naimah mengaku
siap menjadi mualaf.
Menikah
tahun 2011 lalu, kini memiliki dua anak. Hubungan Naimah dengan kedua orang
tuanya yang masih memeluk agama Katolik yang taat masih terjaga.
Bahkan
ketika Ramadhan, Naimah masih sering mendapatkan kiriman menu untuk berbuka
puasa dari sang ibunda yang beragama Katolik.
Selain
dengan orang tua dan keluarga terdekat, hubungan Naimah dengan warga katholik
lainnya tetap terjaga dengan baik. Dibesarkan dengan tingkat toleransi yang
tinggi, membuat Naimah tidak pernah merasa dikucilkan meski telah pindah
memeluk agama Islam.
Agustinus
Syamsudin, masuk Islam pada tahun 1981 silam dan mengganti namanya menjadi
Syamsuddin. Syamsuddin jatuh cinta dengan seorang muslimah Mbawa bernama
Ramlah. Syamsuddin merupakan orang pertama
yang mengaku memeluk Islam di lingkaran keluarganya yang semuanya
pemeluk Katolik.
Syamsuddin
melamar Ramlah, setelah menemui tokoh adat di Desa Mbawa. Saat itu Syamsuddin
mengaku, sempat dinasehati soal sebab akibat ketika ingin melamar seorang
perempuan Islam.
"Saat
itu saya bilang, saya siap masuk islam, " aku Syamsuddin.
Syamsuddin
memiliki 6 saudara, yang terdiri dari 4 orang perempuan dan 3 laki-laki. Dari
jumlah saudaranya tersebut, ia bersama satu orang kakak perempuannya telah
menjadi mualaf.
"Sama
sekali tidak ada paksaan dari siapapun. Keluarga kami juga menerima dengan
baik. Teman dan kawan gereja yang bersama dengan kami sebelumnya, tetap
berkomunikasi dengan baik, " beberapa Syamsuddin.
Kisah
pernikahan beda agama, tidak hanya menceritakan bagaimana pemuda atau pemudi
Nasrani memeluk Islam. Tapi juga ada
pemuda pemudi Muslim yang
kemudian memeluk Katholik setelah bertemu dengan pujaan hati mereka.
Terganjal UU Perkawinan
Ignasius
Ismail, guru agama Katolik yang juga pengurus gereja ST Paulus Desa Mbawa
mengungkap keunikan dilakukan warga setempat menyikapi perbedaan agama.
Ignasius
mengaku, banyak umat Nasrani yang telah memeluk Agama Islam dan rata-rata
diawali dari sebuah pernikahan.
Dalam konteks
ini, pihaknya sama sekali tidak keberatan karena persoalan agama merupakan hak individu seseorang dengan Tuhannya.
"Rata-rata,
ketika ada yang ingin menikah, pasti ke sini dulu untuk berkonsultasi. Saya pun
akan langsung bermusyawarah dengan tokoh adat untuk membahasnya, " aku
Ignasius.
Ada beberapa
persoalan pernikahan, yang didasari perbedaan keyakinan yang dimediasi
Ignasius. Awalnya, kedua pasangan tetap dengan agama yang dianutnya. Akan
tetapi, karena UU Perkawinan di Indonesia tidak membolehkan, mau tidak mau
pasangan harus memilih mengikuti salah satu agama yang dianut.
"Ada
beberapa kasus yang kami mediasi, yang akhirnya berujung pada kesepakatan
pengantin, akan memeluk agama yang mana. Mayoritas memang, akan masuk ke agama
Islam, " ungkap Ignasius.
Meski sempat
terjadi pergolakan di internal keluarga, pernikahan yang didasari beda agama
ini tidak pernah menimbulkan gejolak di tengah kehidupan masyarakat.
"Kalau
di internal keluarga, tentu kita sangat pahami. Itu pun tidak berlangsung lama,
" tegasnya.
Dari data
yang disebut Ignasius, jumlah pemeluk agama Katolik saat ini sebanyak 237 KK.
Sejak berdomisili di Desa Mbawa pada tahun 1999, ia selalu merasakan kerukunan
beragama itu terus terawat.
Beberapa
ritual leluhur yang wajib digelar setiap tahunnya di Desa Mbawa. Seperti Raju
dan Kasaro, warga melakukan ritual syukuran setelah masa panen kepada leluhur
Desa Mbawa.
Warga dari
tiga Agama, akan meletakkan sesajian di Uma Leme dan berdoa diberikan kemudahan
untuk musim tanam berikutnya. Termasuk juga, acara Karawi Rasa (hajatan kampong)
dan Mbolo Weki (kumpul keluarga) yang selalu digelar warga Mbawa jika ada yang
berhajat.
"Kami
merayakan Paskah , Natal dan hari kebesaran lain pun juga menggelar Mbolo Weki
terlebih dahulu dan itu dihadiri dan diurus warga yang beragama Islam, "
bebernya.
Bagi
Ignasius, rasa kekeluargaan pada warga Desa Mbawa lebih besar dibandingkan
perbedaan agama yang ada. Karena jika dirunut, sebenarnya warga di Desa Mbawa berasal
dari leluhur yang sama.
"Kami
sangat menjunjung satu pola kekeluargaan. Meski di luar sana menilai sedikit
aneh, tapi kami hidup dengan damai di sini, dengan segala keberagaman kami,
" pungkasnya.
Bonus Wisata Pluralisme
Desa Mbawa
Kecamatan Donggo Kabupaten Bima, berada di ketinggian 1500 mdpl. Mayoritas
penduduknya, bermata pencaharian sebagai petani.
Berada di
daerah pegunungan, desa ini memiliki hawa yang dingin. Ada dua jalur alternatif jika berangkat dari
Kota Bima. Melalui jalur laut, menempuh 30 menit perahu motor ke Dermaga Bajo,
lanjut perjalanan darat sekitar 30 menit. Sementara jalur darat, sekitar 1 jam
perjalanan melalui Kecamatan Bolo.
Saat
menapaki kaki di Desa Mbawa, sangat terasa kesibukan petani karena sedang musim
panen. Ribuan hektare ladang Jagung
menghampar di lekuk perbukitan yang dulunya hutan Kemiri dan Jati.
Di Desa
Mbawa, ada yang menarik perhatian. Dari jauh terlihat lambang Salib dari atap
sebuah gereja. Di sisi lain, terlihat ada kubah masjid yang sederhana.
Desa Mbawa,
merupakan desa yang memiliki keberagaman agama dan hidup rukun tanpa ada
sengketa akibat perbedaan itu. Dibandingkan dengan desa lain di Kecamatan
Donggo, hanya Desa Mbawa yang memiliki penduduk dengan agama yang beragam.
Data yang
diperoleh dari Kantor Desa Mbawa, jumlah penduduk Desa Mbawa tahun 2020 sebanyak 4.773 jiwa. Ada tiga agama yang
dipeluk penduduk Desa Mbawa, yakni Islam sebanyak 3.733 jiwa, Kristen Protestan
sebanyak 96 jiwa dan Kristen Katholik sebanyak 942 jiwa.
Meski Islam
menjadi mayoritas, namun persamaan hak bagi penduduk agama Protestan dan
Katholik dijamin. Ada banyak faktor yang menyebabkan pluralisme dan toleransi dijunjung
tinggi di Desa Mbawa.
Seperti
kepercayaan leluhur mereka, yang masih terjaga dengan baik hingga saat ini.
Sejumlah ritual bagi leluhur, masih terus dijalankan semua penduduk tanpa
melihat latarbelakang agama.
Termasuk
adanya rumah adat warga suku Donggo yang disebut Uma Leme. Menjadi tempat penyelesaian jika ada sengketa warga,
termasuk sengketa yang menyoal perbedaan agama.
Tokoh adat
yang terdiri dari keterwakilan tiga agama, menjadi tokoh yang disegani dan
diikuti keputusannya. Sehingga, apapun sengketa yang terjadi, perbedaan yang
muncul, akan selesai ketika tokoh adat Mbawa turun tangan dan membahasnya di
Uma Leme.
Diikat Garis Darah
Ada banyak
toleransi yang menurut para budayawan di Bima menjadi fenomenal di Mbawa. Satu
rumah, ada yang hingga tiga agama. Anak pertama Muslim, Kristen Protestan dan
Kristen Katolik. Namun dalam kesehariannya biasa saja. Tidak ada sekat karena beda
keyakinan.
“Karena ini
dibangun sejak dulu, dianggap sebagai sebuah privacy. Tidak ada yang membedakan
Agama,” kata pemerhati Budaya Bima, Husain Laodet.
Pengalaman
langsung Husain Laodet, pernah
menyaksikan acara Isra' Mi'raj Nabi Muhammad SAW. Namun yang mempersiapkan
segala sesuatunya bukan hanya mayoritas orang Islam, tapi juga dari ummat
Nasrani terlibat aktif.
Begitu juga
hari besar keagamaan Kristiani seperti Natal, banyak Muslim yang ikut
membantu. Dalam keseharian toleransi di
sana juga ada batasan ketika berkaitan dengan menu makanan saat hajatan
pernikahan.
Misalnya,
ketika yang menikah beda agama, maka koki dari hajatan tersebut adalah orang
beda agama. “Saat penyiapan makanan saja, dibedakan menu untuk yang muslim dan
menu untuk nasrani,” ungkap Laodet.
Dari catatannya, Toleransi yang terawat di sana tumbuh subur.
Tidak pernah ada konflik yang berkaitan dengan SARA. Sebab mereka diikat dengan
garis darah, bukan keyakinan.
Bagi Laodet,
iklim tolrensi di Mbawa harus jadi rule model, bagaimana keyakinan bukan lagi
unsur air dan minyak yang sulit menyatu. Sebuah kawasan percontohan bagaimana
cara meredam konflik paling laten yang didasari beda keyakinan.
Memang, kata
Laodet, dalam tinjauan hukum Islam, pernikahan beda Agama sangat bertentangan.
Tapi baginya tidak berlebihan jika kerukunan ini dilihat dari tinjauan hubungan
antar manusia dan hubungan dengan Allah SWT ;
hablu mina nash dan hablu minallah. Terbukti, kehidupan bermasyarakat di
Donggo Mbawa sangat damai. (*)
Tulisan ini
adalah bagian dari program Workshop dan Story Grant Pers Mainstream yang
digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) bekerja sama dengan
Norwegian Embassy untuk Indonesia.