Oleh : Triana Pujilestari, S.Si, M.SE (ASN BPS Kota Bima) |
Memasuki bulan April kita sering diingatkan kembali dengan perjuangan seorang sosok RA Kartini dalam merintis kesetaraan gender dan emansipasi perempuan. Isu kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan seharusnya tidak hanya dimaknai sebagai bentuk perlawanan dan tuntutan dari kaum perempuan. Peningkatan kualitas perempuan dari segi pendidikan, kesehatan, maupun secara ekonomi juga harus menjadi sebuah keharusan. Hal ini karena kondisi ideal tidak selamanya dapat dinikmati oleh perempuan.
Sumber: Google |
Tidak dapat dipungkiri bahwa ada 13,9 persen perempuan Indonesia berstatus sebagai kepala
rumah tangga yang disebabkan oleh perceraian maupun kematian pasangannya.
Bahkan dari seluruh rumah tangga miskin, ada sebanyak 15,88 persen rumah tangga
yang dikepalai oleh perempuan. Kondisi inilah yang memaksa perempuan untuk
bergerak guna memenuhi kebutuhan sosial ekonomi keluarganya.
Memang tidak semua perempuan harus keluar rumah untuk
memasuki lapangan usaha formal. Tidak perlu juga membenturkan peran domestik
perempuan dalam keluarga dengan perannya di luar rumah. Karena ada peran
perempuan yang memang tidak bisa diwakilkan dalam keluarga. Ada tanggungjawab perempuan
dalam mengasuh dan mendidik anaknya sebagai generasi penerus bangsa.
Bagaimanapun juga, generasi produktif di era bonus
demografi akan membutuhkan sentuhan tangan perempuan dalam proses pendidikan
karakter yang unggul. Tentu semua menginginkan generasi penerus bangsa ini
tidak hanya produktif secara ekonomi namun juga memiliki karakter dan nilai
moral yang luhur. Proses pembentukan tersebut lebih banyak ada di dalam
keluarga sebagai pondasi pertama dan utama dalam kehidupan bernegara.
Saat ini justru yang harus didorong adalah penciptaan usaha informal bagi
perempuan. Hal ini dimaksudkan agar perempuan dapat aktif secara ekonomi meski
sudah memasuki gerbang pernikahan. Penulis buku Sustainable Impact, How Women
Key to Ending Poverty, Laina Grenee, menyebutkan perempuan yang berjiwa
enterprenuer memiliki peran besar untuk mengentaskan kemiskinan keluarganya.
Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan data Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja
(TPAK) perempuan masih 53 persen, lebih rendah jika dibandingkan TPAK laki-laki
yaitu sebesar 82 persen.
Bagi perempuan kelas menengah atas yang melek teknologi, bekerja dari rumah
merupakan pilihan yang banyak dinikmati. Apalagi ditengah pandemi seperti
sekarang ini. Terlebih di era teknologi informasi yang semakin canggih sekarang
banyak peluang pekerjaan yang bisa dilakukan dari rumah. Menjadi seorang
pedagang online, blogger, programmer, desainer logo hingga menawarkan aneka
jasa yang mampu meningkatkan penghasilan perempuan.
Perempuan kelas menengah atas lebih mudah masuk sektor usaha formal maupun
informal, hal ini karena tingkat pendidikan dan kesehatan yang lebih baik.
Namun bagaimana dengan perempuan dari kelas bawah yang pendidikan serta
keterampilannya terbatas? Tidak terkecuali bagi perempuan dari keluarga miskin
di Indonesia.
Perempuan secara fitrahnya mengandung, melahirkan, dan mengasuh anak.
Mereka cenderung menjadi yang terakhir makan dan secara rutin terjebak dalam
tugas domestik yang memakan waktu dan tidak dibayar. Kondisi inilah yang
menjadikan perempuan merupakan pihak yang paling rentan dalam semua dimensi
kemiskinan. Terlebih jika kondisi ideal dalam keluarga ternyata jauh panggang dari
api.
Ibarat menggarami lautan, apalah arti berbagai program pemberdayaan
perempuan jika rendahnya kapabilitas menjadikannya tidak mampu melemparkan kail
yang telah disediakan pemerintah. Peningkatan kapabilitas ini menjadi sebuah
syarat bagi perempuan untuk keluar dari ketidakberdayaannya. Peningkatan
kapabilitas ini bisa dilakukan dengan meningkatkan kualitas kesehatan dan
pendidikan perempuan.
Hal ini bukan tanpa suatu alasan, mengingat tingkat kemiskinan di Indonesia
masih stagnan pada angka 9 persen dalam tiga tahun terakhir. Seolah berbagai
upaya pengentasan kemiskinan yang telah dilakukan pemerintah tidak berpengaruh
besar dalam menurunkan angka kemiskinan. Ditambah lagi dengan adanya bencana
global, pandemi Covid-19, yang menghantam pertumbuhan ekonomi nasional telah
meningkatkan jumlah penduduk miskin, sebagaimana yang terjadi pada Bulan Maret
2020.
Mungkin ada satu yang kurang dalam upaya pengentasan kemiskinan tersebut
yaitu pada keterlibatan perempuan. Perempuan berperan besar dalam alokasi pengeluaran
rumah tangga miskin. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Amerika Latin,
bantuan tunai yang disalurkan kepada perempuan telah terbukti meningkatkan
alokasi pengeluaran untuk anak-anak dan berpotensi mengurangi pengeluaran untuk
alkohol dan tembakau.
Bagi Indonesia ini bisa menjadi sebuah pelajaran, mengingat pengeluaran
rokok pada keluarga miskin masih menempati urutan kedua terbesar setelah beras.
Pengeluaran untuk rokok penduduk miskin di pedesaan mencapai 14,35 persen atau
jauh melampaui pengeluaran untuk sumber protein sederhana seperti telur dan
tempe. Dan bukan rahasia umum jika konsumsi rokok akan menurunkan kualitas
kesehatan yang berakibat pada penurunan produktifitas secara ekonomi.
Oleh karena itu, apapun bentuk bantuannya yang sifatnya tunai, bisa
disalurkan kepada perempuan. Contoh program sosial yang penyalurannya sudah
melalui perempuan adalah Program Keluarga Harapan (PKH). Sebuah langkah yang
tepat jika mulai tahun 2018 pemerintah menambah jumlah penerima manfaat PKH
hingga 10 juta keluarga, dengan alokasi anggaran sebesar 37,4
trilyun rupiah.
Pengalihan lebih banyak sumber daya kepada perempuan akan meningkatkan
derajat kapabilitas perempuan dan anak-anak di keluarga miskin. Dengan
meningkatnya pengetahuan dan kesehatan perempuan, diharapkan mampu membawa
keluarga miskin keluar dari kemiskinannya. Demikian juga dengan kualitas
kesehatan dan pendidikan yang semakin baik, harapannya anak-anak dari keluarga
miskin ini kelak tidak mewarisi kemiskinan orang tuanya. Yang perlu diingat adalah investasi pada perempuan
akan berdampak besar karena merupakan investasi masa depan dan signifikan guna
mengakhiri kemiskinan. Semoga!