Dedy Mawardi |
BimaNews.id,KOTA
BIMA-Solud NTB membeberakan kondisi APBD Kota Bima. Dimana angka belanja hibah di Pemerintahan Kota Bima naik dibandingkan
porsi anggaran untuk kebutuhan langsung rakyat.
"Sangat
disayangkan. Belanja hibah itu sesungguhnya tidak menjawab kebutuhan
pembangunan di daerah secara riil, " ungkap Sekjen Solud NTB, Dedy
Mawardi.
Belanja
hibah itu jelasnya, tidak sepenuhnya berangkat dari perencanaan
yang baku. Apalagi melibatkan masyarakat secara utuh dan aktif selama proses perencanaannya.
"Andai
anggaran Rp 30 miliar rupiah (di luar
belanja hibah pendidikan-red) itu dialokasikan sebagai belanja pembangunan
melalui belanja modal. Masyarakat Kota
Bima akan sangat beruntung," katanya.
Belanja
modal di APBD Kota Bima hari ini lanjutnya, masih jauh dari keberpihakan
pemerintah pada rakyat. Bagaimana tidak kata Dedy, dari Rp 763 miliar anggaran
APBD. Hanya Rp 164 miliar yang bisa dinikmati masyarakat Kota Bima secara utuh.
Jika
dipersentase angka itu, hanya 21,5 persen dari 100 persen anggaran yang dialokasikan untuk publik tahun 2021 ini.
"Miris
memang. Akan tetapi ini semua kembali pada goodwill pemerintah sebagai pemangku
kekuasaan. Bagaimana pemimpin memanfaatkan kewenangan anggaran yang dimiliki secara
bijaksana. Bukan bijaksini," sindir Dedy.
Lebih rinci
Dedy mengatakan, belanja langsung adalah belanja publik atau belanja untuk
masyarakat. Sayangnya, pemerintah mengambil kembali anggaran itu lebih
dari 50 persen. Melalui belanja barang jasa. Isinya, didominasi belanja honor, makan minum
rapat dan belanja pakai habis lain.
Hal lain
yang menjadi tantangan bagi transparansi
anggaran kata Dedy, terbitnya Kepmen Nomor 050-3087. Merupakan pemutakhiran
PMDN 90 Tahun 2019, tentang Klasifikasi, Kodefikasi, dan Nomenklatur
Perencanaan Pembangunan Dan Keuangan Daerah.
Kepmen pemutakhiran ini dalam format rincian APBD, tidak lagi menunjukan informasi detail pada akun rincian belanja. Misalnya, untuk informasi belanja hibah tidak bisa langsung melihat lembaga atau kelompok penerima hibah yang dimaksud. Entah apa tujuan pemerintah menerapkan hal itu.
''Semoga saja bukan untuk mematahkan
semangat keterbukaan yang selama ini dibangun,'' harapnya.
Terkait data
APBD yang beredar melalui media pemberitaan beberapa waktu terakhir. Dedy tegaskan,
itu data dalam aplikasi SIMDA-nya BPKP. Setiap tahun SOLUD selalu
mendapatkannya dari FITRA Nasional.
‘’Lembaga
SOLUD adalah satu dari tiga belas simpul jaringan FITRA di Indonesia. Jangan diragukan validitasnya, kalaupun
akhirnya ada perubahan-perubahan, itu seharusnya menjadi tanggung jawab
pemerintah daerah untuk dipublikasikan, agar kami pun tahu dan bisa lebih tepat
menanggapinya,’’ tandas Dedy.
Dibutuhkan
kesadaran kolektif untuk pengelolaan
anggaran publik. Baik dari masyarakat sebagai penerima manfaat, untuk sama-sama mengawal dan mengawasi
pemerintah sebagai pelaksana anggaran. Supaya
senantiasa terbuka dalam menjalankan setiap proses dan tahapannya. (tin)