Oleh : Triana Pujilestari, S.SI, M.SE (ASN BPS Kota Bima)
|
KONDISI anak
Indonesia saat ini masih banyak yang harus diperhatikan. Selain masalah gizi
buruk dan stunting, anak-anak juga belum aman dari masalah eksploitasi dan
kekerasan seksual dalam keluarga. Seperti berita
yang beberapa hari ini ramai diperbincangkan di media mengenai kasus pencabulan
anak dibawah umur di Kabupaten Bima (Bimakini.com, 18/02/2021). Fenomena
ini bagaikan fenomena gunung es.
Kenyataan di atas lebih banyak terjadi pada keluarga yang hidup di
bawah garis kemiskinan. Keterbatasan pendidikan dan pendapatan mengakibatkan
mereka tidak dapat hidup secara layak dan normal. Di Indonesia tercatat ada
sebanyak 25,27 persen rumah tangga miskin yang luas lantai rumahnya kurang dari
8 meter persegi per kapita. Luas rumah yang sempit dengan ruangan yang terbatas
membuat tidak ada pemisahan ruang tidur antara orang tua dan anak. Hal ini
mengakibatkan tidak adanya privasi antar anak maupun dengan orang tua dalam
keluarga.
Dari segi pendidikan, rata-rata lama sekolah kepala rumah tangga
miskin hanya 5,86 tahun. Artinya bahwa kepala rumah tangga miskin ini rata-rata
tidak tamat sekolah dasar. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh kemiskinan orang
tuanya terdahulu sehingga tidak mampu menyelesaikan pendidikan dasarnya karena
harus membantu mencari penghasilan.
Kehidupan yang keras tanpa disertai dengan asupan nilai-nilai
moral telah mengikis rasa kemanusiaan sehingga tega untuk melakukan kekerasan
seksual terhadap darah dagingnya sendiri. Sangat disayangkan ketika masa depan
dari anak keluarga miskin ini justru dirusak oleh keluarganya. Harapan untuk
bisa keluar dari kemiskinan semakin sulit dengan adanya beban tersebut.
Selain itu kemiskinan mengakibatkan kehidupan yang sulit bagi
tumbuh kembang anak. Oleh karenanya diperlukan upaya pengentasan kemiskinan
sehingga anak-anak dari keluarga miskin ini bisa memperoleh kehidupan yang
layak dan mampu berkembang dalam meraih kehidupan yang lebih baik.
Sejauh ini, sudah banyak bantuan sosial yang digelontorkan oleh
Pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan. Namun nyatanya angka kemiskinan juga masih
tinggi. Tahun 2020, jumlah penduduk miskin naik 1,28 juta dari 25,14 juta
menjadi 26,42 juta. Seberapa kuat dan lama pemerintah akan membantu 26,42 juta
penduduk miskin ini? Perlu upaya agar penduduk miskin ini mandiri dan tidak
tergantung pada bantuan sosial.
BPS mencatat rata-rata jumlah anggota rumah tangga miskin sebanyak
4-5 orang. Dengan asumsi bahwa terdapat ayah dan ibu, maka jumlah anak dalam
satu rumah tangga miskin antara 2-3 orang. Apabila rantai kemiskinan ini tidak
diputus maka jumlah penduduk miskin akan semakin banyak karena kemiskinan
tersebut akan terus diwariskan kepada anak-anaknya.
Pengentasan kemiskinan di Indonesia tidak hanya berfokus pada
penduduk miskin dewasa saja namun juga harus memperhatikan penduduk miskin usia
anak-anak. Untuk penduduk dewasa, membuka lapangan pekerjaan dan pemberdayaan
ekonomi lebih diutamakan. Sedangkan
untuk anak-anak keluarga miskin, pelayanan kesehatan dan pendidikan lebih
dibutuhkan karena sebagai modal untuk keluar dari jeratan kemiskinan.
Program sosial dalam bidang pendidikan dan kesehatan memerlukan
data yang valid sehingga kemanfaatannya tepat sasaran. Namun sayangnya,
kesadaran penduduk miskin terhadap pengurusan adminitrasi seperti akta
kelahiran anak maupun surat pindah domisili bagi perantau di perkotaan juga
sangat rendah. Ketidaktertiban dalam hal administrasi ini mengakibatkan
keberadaan mereka tidak terjaring dalam aneka program sosial. Di daerah asal
secara de facto keberadaannya tidak
ada, sedangkan di perantauan atau di perkotaan secara de jure mereka tidak terdaftar. Kondisi demikian semakin
menyulitkan pemerintah untuk mengidentifikasi keberadaan penduduk miskin
beserta anak-anaknya dalam rangka pengentasan kemiskinan.
Dalam bidang pendidikan, pada kenyataannya masih ada anak-anak usia
7-12 tahun yang tidak bersekolah sebanyak 0,79 persen. Demikian juga dengan
anak-anak usia 13-15 tahun ada 4,48 persen dan anak-anak usia 16-18 berjumlah
28,56 persen yang tidak bersekolah. Menunda anak-anak untuk memasuki dunia
kerja dan mengembalikan anak-anak kepada bangku sekolah diyakini mampu untuk
meningkatkan kesejahteraan di masa mendatang. Program Indonesia Pintar (PIP)
yang menjangkau 9,45 persen rumah tangga
di Indonesia (Susenas, 2020) perlu diverifikasi kembali untuk memastikan
anak-anak miskin tidak ada yang terlewat untuk memproleh bantuan.
Dalam bidang kesehatan, penduduk yang mengalami keluhan kesehatan
mengalami peningkatan dalam lima tahun terakhir dari 28,53 persen pada tahun
2015 menjadi 30,96 persen pada tahun 2020. Di sisi lain penduduk yang memiliki
jaminan kesehatan baru sebatas 69,29 persen. Masih banyak penduduk Indonesia
yang belum memiliki jaminan kesehatan baik dari pemerintah maupun swasta. Oleh
karena itu menjaga kesehatan yang sifatnya pencegahan penyakit lebih diutamakan
tidak terkecuali pada anak-anak miskin.
Anak-anak dari keluarga miskin sangat rentan terhadap gangguan
kesehatan. Selain asupan makanan dan gizi yang kurang, kondisi perumahan dan
sanitasi yang kurang memadai juga turut menurunkan kualitas kesehatan anak-anak
miskin. Konsumsi gizi yang rendah dikarenakan pengeluaran pada keluarga
miskin lebih banyak dibelanjakan untuk
rokok daripada sumber protein seperti telur, tahu, dan tempe. Persentase
pengeluaran untuk rokok pada keluarga miskin di perdesaan sebesar 14,35 persen,
jauh melampaui pengeluaran untuk sumber protein seperti telur ayam (4,86
persen) dan tempe (1,95 persen). Pola yang sama juga terjadi pada pengeluaran
keluarga miskin di perkotaan. Harus ada prioritas pengeluaran dari keluarga
miskin untuk meningkatkan derajat kesehatannya. Mengalihkan pengeluaran rokok
untuk sumber protein bagi anak-anak akan jauh lebih bermanfaat bagi tumbuh
kembangnya.
Selain itu karena keterbatasan pendapatan, anak-anak dari keluarga
miskin banyak terpapar oleh makanan murah dengan banyak bahan sintetis. Kondisi
ini tentu semakin memberatkan bagi anak-anak miskin untuk memiliki kualitas
kesehatan yang baik. Dengan tingkat kesadaran dalam kesehatan yang rendah,
diperlukan penyadaran akan pentingnya perilaku hidup sehat dan makanan sehat
meski sederhana.
Penyuluhan dan pemberian makanan tambahan pada ibu hamil dan
balita keluarga miskin sangat diperlukan, bahkan dengan cara menjemput bola
(mendatangi keluarga miskin). Untuk anak usia sekolah, kontrol kesehatan bisa
dilakukan di sekolah baik melalui edukasi maupun pemeriksaan kesehatan berkala.
Hal ini bisa terealisasi apabila partisipasi sekolah dari anak-anak keluarga
miskin mencapai 100 persen.
Berbagai upaya di atas perlu dilakukan secara simultan agar rantai
kemiskinan dapat diputus sehingga anak-anak keluarga miskin mampu keluar dari
kemiskinannya. Dengan pemberdayaan ekonomi penduduk miskin dewasa dan
memperhatikan pendidikan serta kesehatan anak-anak, diharapkan mampu membawa
keluarga miskin semakin mandiri dan meraih kehidupan yang lebih baik. (*)