DOMPU-Kisruh KPU Dompu dengan Bakal Calon Perseorangan Pilkada Dompu, Prof DR Mansyur MSi dan Aris Ansari ST (Manis) ditanggapi Ketua Bawaslu Dompu, Drs Irwan. Diakui, munculnya kejanggalan selama proses Verifikasi Faktual (Verfak) oleh PPS, karena miskomunikasi dan koordinasi.
Sebagai pengawas Pilkada,
Bawaslu sudah bekerja profesional selama Verfak berlangsung. Tidak berpihak
pada siapapun. Baik itu PPS sebagai personel KPU maupun Bapaslon Independen.
"Bawaslu ibarat wasit
dalam pertandingan sepakbola. Jika terbukti bersalah, akan diberikan sanksi
berupa teguran. Dan bisa saja diganjar kartu kuning atau kartu merah,,"
sebutnya.
Selama proses Verfak,
Bawaslu menemukan beberapa catatan hasil pengawasan. Diantaranya, dukungan KTP
dari anggota Polri, TNI, ASN, aparatur desa hingga yang sudah meninggal. Bahkan
pihaknya menemukan adanya penyelenggara Pemilu dalam hal ini Panwas yang masuk
dalam dokumen dukungan bakal calon perseorangan.
“Setelah dicermati dokumen
salinan dari KPU ternyata ada nama Panwas. Yang jelas, kasus ini masih
dipelajari. Apakah Panwas ini masuk dalam kategori pelanggaran Pemilu atau
pidana," ungkap Irwan.
Terkait temuan dukungan
Polri, TNI dan ASN, langsung menyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS). Karena
mereka termasuk yang dilarang memberikan dukungan.
"Dukungan dari Polri,
TNI, ASN dan aparatur jelas tidak diperbolehkan dalam aturan dan jelas
TMS," ungkap Irwan.
Disisi lain, Bawaslu
banyak menemukan anggota PPS yang tidak bekerja maksimal. Padahal, dalam aturan
jelas tertera tata cara Verfak. Mulai, PPS mendatangi rumah warga yang
menyertakan dukungan. Jika tidak berhasil ditemui, maka dalam laporan,
dicantumkan tidak ditemui (bukan di TMS-kan).
Kemudian, PPS melakukan
koordinasi kepada LO (Liaison Officer) yang ditunjuk untuk menginput dukungan
perseorangan. Supaya orang-orang tersebut dikumpulkan di satu tempat.
Dalam situasi ini diakui,
PPS dan LO minim koordinasi. Kadang LO tidak maksimal mengumpulkan orang. Ada
pula PPS yang tidak hadir ketika LO sudah mengumpulkan orang.
"Kasus ini terjadi di
Kecamatan Kilo. Ketika orang yang dikumpulkan LO sudah menunggu lama, justru
PPS yang tidak hadir. Begitu juga sebaliknya," jelas Irwan.
Penyebab lain sehingga
banyak yang menjadi TMS kata Irwan, ada beberapa desa yang administrasi kependudukannya
tidak ditertibkan. Kasus itu, kebanyakan muncul di desa mekar. Contohnya, Desa
Ranggo dan Tembalae. Sekitar 400 KTP Ranggo sebagai pendukung tapi tinggal di
Tembalae.
"Begitu juga di Desa
Matua dan Raba Baka, Keluarahan Bali Satu dan Desa Sorisakolo dan beberapa desa
mekar lain," tandasnya.
Belum lagi temuan-temuan
lain kata dia. Seperti, anggota PPS yang tidak mematuhi protokol kesehatan
Covid-19 selama Verfak.
"Walaupun pelanggaran
kecil, tetap menjadi catatan bagi Bawaslu sebagai bahan evaluasi bersama KPU ke
depan," tandasnya.
Pasca penyerahan dokumen
syarat dukungan Bapaslon Manis ke KPU, Bawaslu sudah mulai melakukan
pengawasan. Pihaknya tidak menampik, syarat dukungan yang diajukan banyak TMS.
"Dari Verfak terdapat
kekurangan 7.972 dukungan. Bapaslon Manis diberikan kesempatan untuk melengkapi
kekurangan dengan jumlah dua kali lipat, yakni 15.944," sebut Irwan.
Sejak verifikasi
administrasi terdapat lebih dari 1.000 syarat dukungan di TMS dari 18 ribu
lebih yang diserahkan. Dari sekitar 17 ribu yang tersisa, kemudian dilakukan
seleksi administrasi berkas syarat dukungan. Alhasil, sekitar 15 ribu sekian
memenuhi syarat.
"Kasusnya bervariasi.
Ada yang data identitas tidak lengkap diisi, ada yang KTPnya saja, ada pula
tanpa KTP tapi ada nama dan tandatangan," ungkapnya.
Dari hasil pengawasan
tidak sampai disitu, penyelenggara teknis KPU, dari data 15 ribu lebih
tersebut, 702 diantaranya dilakukan pengecekan ke Dinas Dukcapil Dompu.
Lantaran nama-nama tersebut tidak terdapat dalam DPT terakhir.
Setelah melalui beberapa
tahapan verifikasi administrasi oleh KPU, ditetapkan sebanyak 14. 911 dilakukan
Verfak oleh PPS. Sementara yang dinyatakan memenuhi syarat, sebanyak 8.246.
"Dari pengawasan
kami, Bapaslon atau LO kelihatan kurang siap dengan data hasil Verfak. Padahal
mereka diberikan ruang untuk keberatan pada saat rapat pleno, baik kecamatan
maupun kabupaten, jika ada hal yang tidak sesuai dengan hasil lapangan,"
pungkas Irwan. (jw)