‘’Upaya Menyerap Nilai-nilai Demokrasi’’
Oleh: Maulana Ikbal, Guru SMAN 4 Kota Bima
Jika bangsa Indonesiaselalu mengenang gerakan Reformasi 1998, sebagai jejak penting perjalananbangsa. Gerakan tersebut berhasil menghentikan kekuasaan orde baru yang telahberkuasa selama 32 tahun. Maka “Dou Mbojo” (orang Bima, NTB) sepatutnyaberbangga, bahwa gerbang pertama, pelopor gerakan reformasi era orde baruadalah gerakan demonstrasi yang dilakukan subetnik Donggo (Dou Donggo). Peristiwatersebut kemudian dikenal “PeristiwaDonggo 1972”.
Dou Donggo sendiri merupakanseubetnik dari etnik Mbojo, yang mendiamidaerah pegunungan, dan pesisir sepanjang sisi bagian barat Teluk Bima, KabupatenBima, NTB. Sub etnis Donggo. Kini “Dou Donggo” menyebar di dua wilayahkecamatan yaitu Donggo dan Soromandi. Selebihnya mendiami beberapa kecamatan diKabupaten Dompu, yaitu, Dompu, Manggelewa, dan Juga Kilo.
Namun tulisan ini tidak untukmengulas sejarah secara detail. Sudah banyak yang mengulas melalui buku diantaranya tulisan Drs. H.Mustahid H. Kako, juga H. Gazali Amalanora. Begitupunpuluhan artikel dan jurnal-jurnal penelitian juga turut mengulasnya. Maka dalamrangka mengenang kembali momen tersebut, tulisan lebih pada penggalian nilai yang kemudiandikontekstualisasikan pada nilai-nilai demokrasi masa kini.
Sekilas tentang Peristiwa Donggo 1972
Tanggal 22juni 1972, tepatnya 48 tahun yang lalu. Disebuah daerah pegunungan juga pesisir sebelah barat Teluk Bima, di KabupatenBima NTB, tampak terbelah oleh jejeran ribuan massa berkonvoi. Teriakan komandodari massa aksi yang berisi slogan-slogan perlawanan menggema. Spanduk-spandukmembentang berisi berbagai tuntutan ikut memberi warna. Isu yang diangkat tidaksaja terkait dengan kecamatan masyarakat Donggo, namun melingkupi seluruhKabupaten Bima. Tuntutan antara lain “turunkan Suharmaji (Bupati)” dan “angkat PuteraKahir sebagai Bupati Bima”, “selamatkan hutan Jati di Tololai” dan sebagaianya.Yang membuat gerakan tersebut tampak menegangkan, adalah massa aksi turutmembawa Senjata tradisional sebagai perlengkapan aksi.
Barisan Longmarch sepanjang lebih dari 3 kilometer itu seolah membelah daratan pegununganDonggo yang menghijau. massa hendak menempuh perjalanan sepanjang hampir 40kilometer. Kemana Tujuannya? : Pandopo Bupati Bima!. Tempat tersebut yangberlokasi di ibukota Kabupaten Bima,yaitu di Raba (sekarang menjadi Kota BIma).
Massa Aksi dipimpinoleh 5 tokoh berpengaruh, yakni AbbasOya, BA (Tokoh Intelektual), H.M.Ali alias Haji Kako (Tokoh spritual/Kebathinan), M. Ali Taamin (Ale) dan JamaluddinH. Yassin, (Tokoh Politik) dan H.A. Madjid Bakri (Tokoh Agama). Massa akhirnyadihadang di pertengahan perjalanan oleh beberapa perwakilan pemerintah dan DPRyang dikawal ketat aparat keamanan. Setelah melalui perundingan akhirnyasepakat massa kembali ke kampung.
Pemerintah di bawah pimpinan Bupati Bima Letkol.Soeharmadji dan DPR siap memenuhituntutan demonstran, asalkan demonstran mau kembali ke tempat asal. Sekembalinyamassa di kampung, situasi sempat stabil, karena masyarakat merasa tuntuan telahdirespon. Namun beberapa hari kemudian, situasi berbalik. Melalui suratnya,dengan Pongahnya, Bupati Bima menolak melaksanakan semua apa apa yang telahdisepakati dengan demonstran. Akhirnya chaospun terjadi. Dimulai dari penangkapan Abbas Oya dkemudian disusul oleh M.AliTaamin juga Jamaludiin H. Yasin. Satupersatu pimpinan demonstran ditangkap dan di sikisa. Menyusul kemudian H.M.Ali(H. Kako) dan H. Madjid Bakri.
Sikap represif aparat yang disertai perlawananrakyat tidak terelakkan. Tak terhitung korban harta benda, bahkan nyawa. Rakyatyang hanya bermodalkan semangat harus berhadapan dengan aparat denganpersenjataan lengkap.
Donggo saatitu ibarat daerah perang. Aparatkeamanan berhasil menguasai tanah Donggo. Suasana begitu mencekam. Sebagianrakyat harus melarikan diri ke hutan-hutan. Bermodal baju di badan, melawandingin menusuk tulang. Tidak peduli lagi harta benda yang ditinggalkan.Benda-benda pusaka peninggalan leluhur sudah tinggal kenangan. Donggo sungguhmencekam, layaknya kampung mati. Bermingu-minggu. Penderitaan bertubi-tubi.Apalagi bagi keluarga yang dianggap sebagai “tokoh penggerak”. Tidak tergambarsuasananya. Setidaknya itulah penggalan kisah yang pernah dituturkan oleh salahsatu pelaku sejarah H.M. Ali Taamin. Danpada puncaknya kelima tokoh yang dianggap penggerak di tangkap dan angkutmenuju penjara di Bali!
Catatan: Peristiwa Donggosesungguhnya gerakan rakyat secara kolektif. Begitu banyak tokoh yang ikutberperan. Namun konsekwensi terberatharus diterima oleh ke lima tokoh tersebut di atas, yang di dasarkan faktahukum!
Analisis situasi
Apakeistimewaan peristiwa ini hingga layak diperbincangkan pada konteks kekinian?Apa sebenarnya pesan dibalik peristiwa Donggo dan relevansinya dengan nilai-nilaidemokrasi hari ini? Sebuah pertanyaan mendasar tentunya. Pertanyaan selanjutnya,bukankah peristiwa tersebut hanya berskala lokal? Apakah ada dampak kehidupan bernegara hariini?
Sebagaimanarumusan pertanyaan tersebut, maka Berdasarkan berbagai literature yang juga diperkuatoleh penuturan pelaku sejarah, maka kita akan menelisik pada beberapa aspek: 1);Iklimsosiopolitik. Bahwa kita sebagai bangsa pernah mengalami masa suram berdemokrasi.Dimana otoritarianisme orde baru telah mengekang segala bentuk kontrol rakyat padapenguasa. Lebih dari itu, sikap kritis dianggap duri dalam daging. Perbedaanpendapat jadi hal tabu. Jika gerakan perlawanan dianggap massif dan merongrongwibawa pemerintah, maka rakyat harus siap berhadapan dengan negara. Pengadilanpunsudah siap mengahantam dengan pasal “makar”. Pintu penjarapun sudah menganga.Bahkan Nyawa tak lagi bernilai.
Namundemikian, justru rakyat Donggo dengan gagah berani menentang tirani itumeskipun ancaman ada di depan matanya. Tak peduli lagi apa yang harusdikorbankan. Harta, bahkan nyawa. Mereka hanya tahu menuntut keadilan dankesetaraan. Anti diksrimnasi. Mereka menuntut pemimpin yang amanah. Yang tidaktulus memimpin layak mundur.
Bisadibayangkan betapa efek gerakan begitu luas. Tidak heran media masa turutmeramaikan berita peristiwa ini. Dalam Buku Peristiwa Donggo 1972 (hal. 65), H.Mustahid mencatat lebih dari sepuluh media cetak dan elektronik nasional maupuninternasional ikut merilis berita peristiwa tersebut termasuk di dalamnya BBCLondon dan VOA Amerika.
Bagipemerintah saat itu gerakan peristiwa Donggo membawa dampak yang cukup luas,baik dari sisi politik maupun keamanan. Maka sesegera mungkin harus diatasi.Karena begitu besar gaung dari peristiwa ini Panglima Kodam Udayana waktu itulangsung menyambut kedatangan pimpinan demonstran di Bandara Ngurah Rai Bali.
2);Iklim Sosioekonomi. Bisa dibayangkan, pada tahun1970an, Donggo masih jauh dari kata maju. sarana jalan hanya dari warisanjepang. Itupun sudah dipersempit oleh rimbunan semak belukar yang akhirnyatersisa menjadi jalan setapak. Sarana perkantoran pemerintah belum ada. Kehidupanmasyarakatnya masih tampak alami bahkan primitive. Kehidupan ekonomi hanyabergantung pada bidang pertanian. Aktivitas jual beli mayoritas masihmenggunakan sistem barter (tukar barang/jasa).
Namun di balik semuanya, terselippikiran-pikiran cerdas, yang jauh melampaui masanya. Mereka sadar dengan kemajuanzaman yang kelak dijalani. Sebagian kecil generasi mudanya sudah ada yangmerantau ke daerah maju (terutama di Jakarta dan sekitarnya) untuk menimba ilmudan mencari penghidupan yang lebih layak. Sebagian lagi generasi mudanya sudahaktif di organisas-organisasi keagamaan, sosial bahkan politik.
Akhirnya,di tengah kondisi yang serba terbatas bahkan tertinggal, justru menjadi energytersendiri dalam memupuk semangat perubahan. Di sisi lain, sinergi yang baikmasyarakat terpelajar dengan yang awam akhirnya menjadi Trigger lahirnya jiwa cerdas dan kritis, sehingga wajar kemudianberhasil merumuskan sebuah gerakan demokratis, yang akhirnya menjadi atensikhusus pemerintah saat itu. Catatan: Belum ada catatan daerah(apalagi daerah tingkat kecamatan) pernah melakukan hal tersebut pada masa-masaawal orde baru.
3); Iklim Sosiokultural. Sebagai sebuah daerah yangdigadang-gadang sebagai “suku Asli Bima” maka secara kultural Donggo begitukuat dalam memegang prinsip-prinsip tradisionalitanya. Meskipun hal ini menjadiciri umum dari sebuah entitas budaya. Namun ada beberapa hal yang memang masihmelekat pada masyarakat Donggo. Salah satunya adalah kebersamaan dan sifatgotong royong. Pada masa itu ikatan emosional dan primordialisme warga Donggobegitu kuat. Kedekatan kekeluargaan menjadi kekuatan tersendiri dalam menghadapimasalah. Soliditas dan solidaritas seolah menjadi senjata yang bisa melawanapapun. Tingkat penghargaan dan penghormatan pada tokoh-tokoh begitu kuat.Norma adat-istiadat serta agama masih dipegang teguh. Sehingga apapun masalahyang terjadi dapat diserahkan pada orang yang dianggap mampu mengatasi melaluimusyawarah adat.
Maka dalam konteks ini, sikapkekeluargaan dan kebersamaan itulah yang kemudian menjadi spirit dalam melawansegala bentuk intimidasi dan sikap represif negara saat itu. Bahkan menjadirujukan generasi muda Donggo hingga kini.
Meskipun aroma Pemilu 1971 masihterasa, namun perbedaan pilihan saat Pemilu tidak membuat perbedaan sikap padasaat peristiwa Donggo berlangsung. Mereka bersama untuk isu yang sama. Merekasadar tidak ada kepentingan pilitik apapun yang mampu menggugah keyakinanrakyat Donggo saat itu selain berbicara tentang kesejahteraan, keadilan, danmenentang tirani. Tidak saja tentang Donggo, tapi Kabupaten Bima umumnya.
Esensi Nilai-Nilai
Ada banyak esensi nilai yang dapatkita petik dari Peristiwa Donggo 1972:
1). Rakyat sadar Konstitusi. Hakikatnya mayarakat Donggo saatitu, meyakini bahwa gerakan yang mereka lakoni adalah hak yang dijaminundang-undang sebagaimana tertera pada pasal 28 UUD 1945.
2). Kebersamaan dan gotong royong. Bahwa apa yang ditujnjukkan olehperistiwa tersebut adalah bagaimana masyarakat mengesempingkan urusan merekapribadi demi kepentingan yang lebih besar. Maka sebagai bangsa yang masihmembangun, sikap-sikap Altruistik seperti itu merupakan cara ampuh mempercepat tercapainya tujuan.
3). Keberanian menyatakan kebenaranmeskipun pahit. Peristiwatersebut menggambarkan pula bagaimana sikap taat dan hormat, harus “berbalik arah”menjadi berontak jika ada keganjilan terjadi. Sikap objektif harus dikedepankan ketimbang harus berlindung dibalik kekuasaan yang sifatnyasementara. Karena di situlah tampak kemurnian perjuangan.
4). Tanggung Jawab dan relaberkorban.Sebuah perjuangan tentu ada konsekwensinya, terlebih jika harus melawan kekuasaan.Tokoh yang di cap sebagai penggerak berani bertanggung jawab. 7 pintu penjara bagimereka seolah pintu istana. Tak tehitung berapa kali popor senapan menghantamtubuh mereka. Berapa tulang yang patah karena dibanting, kuku dicabut, darahbercucuran bahkan nyawa hampir melayang. Tapi tak ada keluh apalagi sesal.Bahkan mereka bangga dengan apa yang rasakan.
Tidak banyak orang mampu seperti itu.Namun selayaknya kita teladani. Karena generasi kita terlalu banyak tantangan
5); Simbolik berbasis kearifan lokal. Bahwa Peristiwa Donggo 1972 juga saratdengan nilai-nilai simbol. Harapan untuk diangkatnya Abdul Kahir Salahuddin/PuteraKahir (putra Sultan Bima terakhir Sultan Salahuddin) sebagai Bupati Bima, adalahbagian dari gerakan politik simbol dan primordial. Dalam konteks ini, bukanpada upaya pelanggengan sikap feodalistik pada keturunan raja, namun lebih padarepresentasi identitas kebudayaan “Mbojo”yang terkesan mulai terkikis. Dengan itu, diharapkan mampu menetralisirberbagai kepentingan politik saat itu yang sangat “Militeristik”. Tuntutan mengangkat Putera Kahir sebagai Bupati Bimajuga sebagai antithesis dari kesewenangan pemerintah Pusat atas berkuasanya“orang luar” yang tidak teruji integritasnya, yang berpotensi membawa kaburkekayaan daerah.
pada level yang lebih kecil, Aksisimbolik juga ditunjukkan dengan pemakaian atribut tradisional seperti “Sambolo”yakni topi khas Dou Donggo pada saat demonstrasi berlangsung. Selain itusenjata-senjata tradisional diikut sertakan sebagai identitas budaya yang turutmempengaruhi spirit dan membangkitkan gelora perjuangan kala itu.
Dalam konteks keindonesiaan hari ini,gerakan ini sebagai bagian dari upaya pelestarian kearifan lokal budaya, sebagaibagian pertahanan budaya. Sisi lain juga sebagai representasi dari kebhinekaanyang selama ini kita junjung.
6); Etis Dan Religius. Pada sisi nilai-nilai etik, gerakanperistiwa Donggo 1972 tidak melupakan sisi-sisi manusia sebagai “homoreligius”.Dimana gerakan harus dilandasi oleh sikap spiritual dan nilai-nilai keTuhanan,sebagai implemetasi Habluminallah.
Sebagai gambaran, Pada saat peristiwaberlangsung, pekikan Takbir selalu menggema. Begitupun ketika masuk waktusholat wajib, semua demonstran melakukan shalat berjamaah. Hal ini menandakanbahwa, gerakan itu semata-mata mengharapkan perlindungan hanya dari Sang MahaKuasa, Allah SWT.
Sikap santun dan sopan yangditunjukkan para demonstran juga membuat simpatik warga Kecamatan Bolo yangjuga ikut memberikan dukungan moril maupun materil pada saat itu. Bantuan logistikdiberikan warga di sepanjang perjalanan memberikan gambaran betapa besardukungan warga kecamatan lain dalam gerakan tersebut.
Hakikatnya sebuah gerakan yangdilakukan secara etik yang landasi sikap religious niscaya akan berbuahsimpatik. Karena sesungguhnya, ada sebuah misi besar yang ingin kita capai,ketimbang sekadar mencari sensasi dengan hal-hal yang mencederai hakikatperjuangan.
Kesimpulan
Peristiwa Donggo 1972 tentu jadiinspirasi dalam kehidupan berdemokrasi kita hari ini. Baik kita sebagai rakyatmaupun bagi mereka yang berkuasa. Bagi rakyat (siapapun) niscaya memahamiesensi dari sebuah gerakan. Bahwa halangan, keterbatasan, kekurangan janganmenjadi penghalang misi perjuangan. Perjuangan yang didasari dengan iman danniat tulus pasti akan tercapai. Pola yang dilakukanpun tidak mesti harusmengadopsi budaya orang (Barat), karena kita tidak mungkin jadi seperti mereka.Kita punya kearifan norma, adat dan tradisi. Ambil saja ilmunya, terapkanmenurut cara kita.
Bagi para pemimpin, harus sadar,bahwa apa yang menjadi kebijakan selalu terpantau oleh rakyatnya. Rakyatsekarang sudah cerdas. Kebebasan terlampau liar. Teknologi Informasi terlanjurmembanjir. Bahwa rakyat selalu punya cara untuk berkata dan bertindak.
Membangun bangsa adalah hasilsinergi. Dan butuh energy. Rakyat dan pemimpin niscaya berbagia peran. Tidakada yang saling menindih dan menindas. Tidak apa ada air mata, yang pentinguntuk mecari mata air. Semoga Indonesia makin sejahtera. (*)