KOTA BIMA-Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan belum lama ini mengeluarkan aturan tentang pembatasan penggunaan fasilitas layanan. Ketentuan itu tertuang dalam peraturan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS) Nomor 1 Tahun 2020 tentang prosedur penjamin operasi katarak dan rehabilitasi medik dalam program jaminan kesehatan.
Dalam peraturan tersebutdisebutkan, jika pasien yang membutuhkan layanan fisioterapi harus melaluidokter Spesialis Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi (Sp. KFR). Sementaradokter spesialis ini tidak ada di Bima.Sehingga pelayanan fisioterapi di Faskes tidak bisa diklaim BPJS atau tidakbisa berjalan.
Hal ini sempat mengundangperdebatan dari IFI (Ikatan Fisioterapi Indonesia) Kota Bima. IFI menganggap,aturan yang diterbitkan merugikan fisioterapis sekaligus pasien.
“Kami anggap aturanini sangat tidak tepat dan merugikan pasien,” tegas Ketua IFI Bima, AliAhyar Ridha, SSt Ft S.Fis pada Radar Tambora.
Ahyar menganggap aksesmasyarakat untuk mendapat pelayanan fisioterapi semakin berat sekaligus menyulitkanpasien.
Peraturan yang dikeluarkanBPJS ini tidak mengacu pada aturan tentang tenaga kesehatan. “Disisi lainfisioterapi dan Sp KFR itu berbeda. Baik dari esensi maupun standarpelayanan,” sebut bapak dua anak ini.
Munculnya aturan barutersebut, IFI mengajukan protes ke BPJS. Mereka menyatakan keberatan danmenolak penerapan peraturan tersebut dalam pemberian tindakan fisioterapikepada masyarakat.
“Tentu sangatmerugikan fisioterapi, karena kami diminta melakukan tindakan yang di luarstandar pelayanan fisioterapi sesuai PMK 65 tahun 2015 dan PMK 80 tahun 2013. Inijuga bertentangan dengan UU tenaga kesehatan, UU kesehatan dan UU rumah sakit.Resikonya, mutu pelayanan fisioterapi turun dan kami dipaksakan untuk melanggarhukum,” sorot Ahyar.
Alasan BPJS kata dia,untuk kendali mutu dan efisiensi anggaran. Tapi, kebijakan ini justru menyebabkanpemborosan anggaran dan menurunkan mutu, karena untuk mendapatkan pelayananfisioterapi harus melewati 3 dokter. Yakni, dokter umum di Faskes tingkatpertama dan dokter spesialis di Faskes tingkat lanjut.
“Fisioterapi itu tak bisadibatasi, karena menyangkut dosis tindakan dan kebutuhan pasien. Jadi, sangattidak etis kalau ini diberlakukan untuk pasien BPJS,” tandasnya.
Sedangkan dalam aturanBPJS tersebut, pasien diharuskan mendapat pemeriksaan dokter rehabilitasi mediklebih dulu. Baru kemudian bisa mendapatkan pelayanan fisioterapi. Namun,keberadaan dokter tersebut hanya ada di RSUP NTB dan RS Manambai Sumbawa.
Dengan alur yang panjangseperti ini menurut Ahyar, tentu sangat merugikan pasien dari segi waktu danbiaya. Selain itu, pola seperti ini juga sudah ditolak dan dibantah oleh Kemenkesmelalui surat edaran kepada BPJS bernomor : UK.02-15/I/2857/2015.
Dalam surat edarantersebut disebutkan, pelayananfisioterapi bisa langsung melalui semua dokter penanggungjawab pelayanan (DPJP)tanpa harus melalui dokter Sp KFR.
“Juga dalam dalamKeputusan Menteri Kesehatan Nomor 378/Menkes/SK/IV/2008 tentang pedomanpelayanan rehabilitasi medik di rumah sakit, sepanjang mengatur pelayananfisioterapi dinyatakan sudah tidak berlaku dan dicabut oleh Kemenkes. Selainitu aturan yang sama pernah dikeluarkan juga oleh BPJS dan dibatalkan olehMahkamah Agung, tapi kenapa masihdikeluarkan lagi,” tanyanya.
Jadi kata dia, ada atautidaknya dokter Sp KFR tidak merubah status hukum akan penerapan aturan tersebut.Karena fisioterapi tetap melakukan tindakan yang di luar standar pelayananselama aturan ini belum dicabut.
“Kami berharap BPJSmengeluarkan aturan yang relevan dengan aturan lain. Sehingga masyarakat bisamendapatkan pelayanan yang prima sesuai harapan kita semua,” pungkasnya.(jw)