BIMA-Anjloknya harga jual jagung di wilayah Bima, membuat sejumlah petani bertahan. Mereka rata-rata belum menjual jagung, menunggu harga membaik.
Ahmad, warga Desa Kala
Kecamatan Donggo mengaku, petani rata-rata belum mau menjual jagung mereka karena harga. Masalahnya kata dia,
dengan harga jual Rp 2.800 hingga Rp. 2.900 per kilogram, petani rugi. Tidak bisa
menutup biaya produksi.
Pasalnya kata dia, untuk
biaya produksi jagung pada lahan seluas satu hektare berkisar Rp 13 hingga 17 juta.
Sementara hasil produksinya sekitar 5 hingga 6 ton, untuk ukuran lahan di
Donggo.
‘’Kalau petani murni,
biaya produksi untuk lahan satu hektare atau dengan bibit 20 kilogram itu,
sekitar Rp 12 hingga Rp 13 juta. Sementara bagi petani yang menggunakan tenaga
orang lain, biaya produksinya lebih tinggi, sekitar Rp 15 hingga 16 juta,’’
bebernya.
Dengan harga jagung
sekarang sebutnya, bisa dihitung biaya produksi dengan hasil yang diperoleh. Hasil 5 ton dikalikan harga jual Rp 2.900 per
kilogram, hanya dapat Rp 14,5 juta.
‘’Angkanya jauh. Padahal
rata-rata petani meminjam uang bank. Belum lagi untuk kelanjutan hidup mereka
satu tahun ke depan, kemudian modal untuk musim tanam berikutnya, ‘’ beber
bapak tiga anak ini.
Hal itu kata dia yang
mendasari kenapa para petani memilih menyimpan jagung mereka, menunggu harga
membaik. Sehingga ketika ada aksi demo dilakukan Laskar Tani beberapa waktu
lalu di Kantor Pemkab Bima. Petani di Donggo dan Soromandi sangat mendukung. Berharap
ada perhatian pemerintah dengan anjloknya harga jagung saat ini.
‘’Kita berharap harga jual
jagung itu sekitar Rp 3.400 hingga Rp 3.500 per kilogram. Supaya ada keuntungan
bagi petani dan mereka bisa melanjutkan hidup hingga musim hujan berikut,’’
harapnya.
Saat ini kata dia, petani memilih
menjual jagung mereka langsung ke perusahaan. Karena harga belinya agak tinggi,
Rp 3.100 per kilogram. Meski tidak ada untung, paling tidak mereka tidak rugi
banyak.
Kepala Unit Pelaksana
Teknis (KUPT) Pertanian Kecamatan Donggo, Abdul Rauf juga mengaku, banyak
petani bertahan, belum menjual jagung
mereka. Sebagian lain katanya juga masih ada yang sedang panen.
Alasannya kata dia, selain
menunggu bulan Ramadan berakhir, juga berharap ada kenaikan harga jagung. Karena
harga jual jagung ditingkat petani berkisar Rp 2.800 hingga 2.900 perkilogram. Praktis,
harga itu tidak sebanding dengan biaya produksi yang dikeluarkan.
Anjloknya harag jual
jagung diakui sebagai dampak dari pandemi corona virus disease. Perusahaan yang
biasa menampung jagung petani, sementara membatasi pembelian.
‘’Kita berharap, harga jagung segera membaik
supaya kesejahteraan petani juga meningkat,’’ harapnya.
Menyinggung tingkat
produksi jagung tahun ini dibanding tahun lalu, diakui untuk wilayah Kecamatan Donggo meningkat.
Perbandingan hasil
produksi itu katanya dilihat dari hasil panen petani dengan jumlah bibit yang
sama. Misalnya, dengan bibit 20 kilogram, petani bisa panen 5 hingga 6 ton.
‘’Alhamdulillah untuk hasil
produksi jagung di Kecamatan Donggo tahun ini meningkat. Meski peningkatan itu
tidak besar,’’ bandingnya.
Jauh katanya dibandingkan hasil produksi jagung di wilayah Kecamatan
Soromandi. Penurunanya sekitar 50. Perbandingan itu dilihat dari bibit 20
kilogram yang ditanam. Petani di Soromandi
hanya dapat hasil sekitar 2 hingga 3 ton.
Menurunnya produksi jagung di Soromandi, selain karena faktor alam. Tanaman jagung sempat diserang penyakit antraks. (gun)